Kamis, 24 Jul 2008 | 13:47 WIB

TEMPO Interaktif, :Imaji di layar yang disemprotkan dari proyektor menunjukkan gambar-gambar demonstrasi mahasiswa pada 1998. Suara berdendang dalam logat Sunda menjelaskan bahwa situasi negeri sedang sakit. Ada kabar burung yang beredar soal pergantian pemimpin.

Pentas dibuka dengan suara menggelora diikuti petikan alat musik Sunda. Lampu kuning bercampur merah tersemburat di panggung yang telah diset layaknya kuburan dengan beberapa batu nisan berbagai ukuran dan bentuk. Selanjutnya adalah lakon seorang bapak tua berpakaian serba hitam yang menyalakan dupa di depan sebuah makam. Ia berkomunikasi dengan suara gaib seorang perempuan. "Negeri sedang bergejolak, petinggi negeri lupa diri, pejabat cuma menyengsarakan rakyat. Pejabat sendiri yang menjarah kekayaan negara," ujar Ki Kuncen ketika ditanyai soal kegelisahannya.

Itu adalah cuplikan awal penampilan kelompok teater Mainteater di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Selasa malam lalu. Mereka mementaskan pertunjukan berjudul Sandekala, yang diangkat dari novel karya Godhi Suwarna dengan judul sama. Ceritanya tentang seorang camat yang korup dan memerintah dengan tangan besi. Si Camat juga berani menebang pohon dari Tabet Surawisesa, tempat keramat kompleks kuburan itu berada.

Kisah si Camat (yang diperankan Tohari Yosdollac) beserta para penentangnya dipadu dengan kesaksian peristiwa Mei 1998. Atmosfer pengap itu dirasakan oleh Kuncen (Moel Mhe) di Tabet Surawisesa. Ini menjadi kisah utama dalam lakon Sandekala. Kebetulan cucu si Kuncen, bernama Bagus (Chandra Kudapawana), adalah mantan wartawan yang pernah mengungkap kasus korupsi si Camat.

Secara umum, lakon ini menyajikan drama dua dunia, yakni dunia gaib dan dunia nyata. Dunia nyata adalah soal pergolakan politik tersebut. Sementara itu, pada dunia gaib, dikisahkan interaksi Kuncen dengan Dyah Pitaloka (Puti Puspita Hadiati), yang dianggap sebagai titisan korban peristiwa di Tegal Bubat dan kerap menunjukkan diri dalam wujud ular putih raksasa, termasuk juga interaksi Bagus dengan Dyah, yang ternyata memiliki hubungan khusus di kehidupan sebelumnya.

Menyaksikan lakon teater ini membutuhkan perhatian yang cermat. Soalnya, adegan beralih dari dunia nyata ke dunia gaib dan sebaliknya dengan cepat. Selain itu, lakon ini bisa dibilang terlalu njelimet. Terlalu banyak subplot. Alur cerita pun berjalan lambat. Total pertunjukan menghabiskan waktu lebih dari 150 menit. Menurut sutradara Wawan Sofwan, perjalanan cerita dalam lakon ini sudah ditekan menjadi lebih padat. "Inilah pilihan kami," ujarnya. Wawan menambahkan, ada berbagai idiom dalam bahasa Sunda yang butuh penjelasan lebih panjang dalam bahasa Indonesia, sehingga memakan waktu lebih lama. Kesulitan lainnya, tutur Wawan, adalah menggabungkan kisah dua dunia itu. "Kalau ada adegan yang dihilangkan, akan mempengaruhi adegan lainnya," kata pria 43 tahun yang sebelumnya menyutradarai pentas Nyai Ontosoroh itu.

Setelah pementasan Selasa malam dalam bahasa Indonesia itu, Mainteater kembali membawakannya pada Rabu malam dalam bahasa Sunda. Lakon yang ditampilkan dalam rangka 100 tahun Kebangkitan Nasional ini juga telah dibawakan dua kali di Bandung pada 23 dan 24 Mei lalu. TITO SIANIPAR


Sumber: http://www.tempointeraktif.com/read.php?NyJ=cmVhZA==&MnYj=MTI4OTI1
Axact

Axact

Vestibulum bibendum felis sit amet dolor auctor molestie. In dignissim eget nibh id dapibus. Fusce et suscipit orci. Aliquam sit amet urna lorem. Duis eu imperdiet nunc, non imperdiet libero.

Post A Comment:

0 comments: