Saturday, 26 July 2008



LAKON SANDEKALA, Seorang aktris sedang menghayati peran dalam pementasan lakon bertajuk Sandekala di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM) pada (22/7). Pagelaran tersebut dalam rangka mengenang peristiwa kerusuhan Mei 1988 dan memperingati 10 tahun reformasi.

Peristiwa kerusuhan Mei 1998 lalu belum hilang dari ingatan kolektif bangsa ini. Peristiwa nahas itu kembali dikenang lewat pementasan lakon Sandekala.

SANDEKALAsebenarnya sebuah cerita rakyat dari Jawa Barat tentang makhluk halus (semacam Buto Ijo,raksasa jahat dalam pewayangan Jawa).

Walau belum banyak orang melihatnya, mitos ini cukup kental dipercaya masyarakat Sunda,terlebih di Situs Astana Gede atau Situs Kawali yang merupakan salah satu situs dari masa klasik di Kampung Indrayasa, Desa Kawali, Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis,Provinsi Jawa Barat. �Sandekala� sendiri berasal dari kata �sande� yang berarti �gelap� dan �kala�yang berarti �waktu�.

Inti mitos dari masyarakat Pasundan tersebut adalah jangan bermain hingga waktu gelap (larut malam). Sebuah pesan yang memang berlaku pada zaman dahulu dan sangat jarang dilakoni anak muda masa kini. Saat keseringan main hingga lupa waktu, Sandekala akan memakannya atau mendapat celaka atau penyakit saat bermain di waktu itu.

Cerita bermula dari seorang Camat Kawali, Suroto, yang menyalahgunakan jabatan dengan menebang pohon di Tabet (hutan keramat). Padahal, kesakralan hutan tersebut sangat dijaga warga desa dari generasi ke generasi sejak abad ke-13. Di situ ada makam Putri Kerajaan Galuh, Dyah Pitaloka, serta makhluk halus lainnya.

Tindakan tersebut diprotes Pandu, mahasiswa dari Kawali.Tak membuat jera penguasa, masyarakat merencanakan untuk demo. Namun, keburu tercium pihak aparat muspika dan mereka diamankan. Termasuk bagi Bagus Madenda,bekas wartawan yang dipecat dari pekerjaannya karena memberitakan seorang pejabat yang korupsi. Celakanya, pejabat itu adalah kenalan dari pemilik surat kabar tersebut.

Seorang kuncen (juru kunci) di hutan Surawisesa lantas berbincang dengan burung Kepodang. Sosok burung tersebut diyakini masyarakat sebagai titipan Dyah Pitaloka untuk mengungkap kegelisahan Ki Kuncen tentang suasana negeri ini, termasuk orang-orang yang berada di sekitar Tabet. Makin lama, gonjangganjing tersebut semakin membuat resah �penghuni� hutan keramat.

Mereka lalu menampakkan diri untuk memberi �kila-kila�, tandatanda kepada penduduk sekitar. Dari muncul makhluk siluman, berbagai macam hama,belalang, tikus,hingga menjelma menjadi seekor ular putih. Keseimbangan alam pun terancam. Banyak hasil panen yang tidak dapat dinikmati akibat serangan hama tersebut.

Buyut Pawitan, kekasih Dyah Pitaloka terdahulu,ternyata bereinkarnasi ke tubuh Bagus Madenda. Dyah pun bernostalgia dan menghibur kegundahan hatinya. Akhirnya Bagus makin terjerembab ke dalam �pelukan� nostalgia Dyah. Bagus kian hari kian murung.Begitu pula saat diajak demo oleh Pandu, Bagus yang ternyata cucu Ki Kuncen satu-satunya justru menolak karena pasti akan ditahan penguasa.

Tak putus asa, Pandu dan teman-teman kampung malah nekat berdemo. Pandu pun kian bersemangat karena ditemani kekasihnya meski ia adalah putri Camat yang akan didemonya. Untung kekasih Pandu ini mau membocorkan rapat rahasia yang dilakukan ayahnya dan muspika setempat sehingga penangkapan demonstran besar-besaran bisa dihindari. Kisah ini berujung dengan Kawali yang luluh lantak. Para demonstran pun lari ke Tabet Surawisesa.

Lalu, aparat mengejar dan menghabisi seluruh demonstran. Sementara Dyah Pitaloka yang tetap bernostalgia dengan Bagus malah memperlihatkan gambaran wong samar serupa Dyah yang pergi ke tanah timur. Bagus menyaksikan Dyah bunuh diri serta upacara pengembalian abu jenazah dari tanah timur. Bagus kian terseret ke pusaran masa lalu dan kemudian menghilang.

Kisah tersebut sangat mirip bila dikaitkan dengan kerusuhan Mei 1998 di Ibu Kota. Cerita yang diadaptasi dari novel Sandekala garapan Godi Suwarna ini memang terinspirasi dari tragedi memilukan sekaligus memberi perubahan bagi demokrasi Indonesia. Meski novel tersebut ditulis dalam bahasa Sunda, isinya sangat memberi ruang universal terhadap permasalahan negeri.

Tema-tema korupsi, pelanggaran hak asasi manusia,persoalan lingkungan, dan kearifan pemimpin masa lalu sangat tergambar jelas dalam novel pemenang penghargaan Sastra Rancage 2007 ini.Apalagi, novel dengan pendekatan setting local jarang ditulis orang. Begitu pun kesesuaian tema dengan kekinian yang sangat menarik dan kontekstual.

�Kami ingin mengampanyekan antikorupsi, sosialisasi hak asasi manusia, menceritakan persoalan lingkungan serta kearifan lokal yang telah dicontohkan pemimpin masa lalu. Semoga bisa menggugah anak bangsa untuk melakukan perubahan lebih baik,� ujar Wawan Sofwan, sutradara dan produser Sandekala yang pentas di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki,Jakarta (22/7 dan 23/7).

Menariknya, di hari pertama, pementasan teater yang didukung penuh oleh Perkumpulan Seni Indonesia, Indonesia Corruption Watch, WALHI, Mainteater, dan komunitas nonprofit lainnya ini menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Sunda di hari keduanya. Tak hanya mengampanyekan sesuatu,pementasan ini juga menaikkan teater Sunda yang selama ini bersembunyi entah di mana.

Dengan dukungan artistik gaya zaman prasejarah, pementasan selama tiga jam ini di awal terasa hambar. Namun, di satu jam terakhir, aura sebenarnya baru muncul. Tambahan audio visual di layar tentang suasana kerusuhan Mei 1998 justru mempercantik pementasan. (didik purwanto)


Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/budaya/refleksi-kerusuhan-mei-1988.html
Axact

Axact

Vestibulum bibendum felis sit amet dolor auctor molestie. In dignissim eget nibh id dapibus. Fusce et suscipit orci. Aliquam sit amet urna lorem. Duis eu imperdiet nunc, non imperdiet libero.

Post A Comment:

0 comments: