Maya Handhini
Jakarta � Dengan telaten, ibu Pandu memijit anaknya yang sakit. Pandu sakit akibat terlalu lelah berunjuk rasa untuk melawan Pak Camat yang gemar korupsi dan melakukan pelanggaran HAM di Desa Kawali, Ciamis.
Pak Camat, penguasa tempat tinggal Pandu, mempunyai segala sifat buruk yang pantas dihujat seluruh rakyatnya. Ia yang berperut buncit ini senang mengganggu gadis-gadis di desanya. Ia juga dikenal bertangan besi dan rakus melahap seluruh proyek yang terhidang di hadapannya. Begitu rakusnya, Pak Camat senang meneror. Salah satu korban terornya adalah tukang ojek.
�Bagaimana hasil hari ini, sudah dapat berapa dari kutipan pada ojek. Kalau mereka tidak mau membayar, kamu pukul saja hingga babak belur,� kata Pak Camat kepada Kuwu anak buahnya. Salah satu yang menjadi korban kerakusan Pak Camat adalah Dadang. Akibat tidak bisa memberi kutipan, Dadang babak belur dipukul oleh kaki tangan Camat rakus tersebut.
Tapi, kezaliman tidak bertahan selamanya. Masyarakat Desa Kiwali lama-lama gerah juga melihat kerakusan dan kebrutalan Pak Camat. Demonstrasi pun terjadi dan semakin tidak terkontrol.
Sindiran
�Sandekala�, cerita yang diangkat dari pemenang hadiah sastra Rancage 2008 karya Godi Suwarna dipentaskan selama dua hari, Selasa (22/7) dan Rabu (23/7), di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dalam dua bahasa, Indonesia dan bahasa Sunda.
Judul Sandekala diambil dari aksara Suna Kuno dalam prasasti Astana Gede, atau dikenal dengan sebutan prasasti Kawali.
�Namun, lebih tepatnya Sandekala adalah sindiran tajam yang memindahkan peristiwa 1998 dengan korupsi sebagai akar masalah ke dalam sebuah cerita,� ujar Wawan Sofwan, sutradara.
Wawan memang memilih setting 1998 untuk menuturkan krisis sosial dan moral yang terkandung di dalam �Sandekala�. Untuk melukiskan demonstrasi yang besar, Wawan mengambil video klip dokumenter unjuk rasa pada 1998.
�Kekerasan demi kekerasan ini ternyata sudah bukan lagi dalam lingkup perintah camat, melainkan hingga bupati. Pementasan �Sandekala� ini sengaja kita angkat untuk mengingatkan bahwa saat ini korupsi sudah terjadi di mana-mana,� kata Wawan.
�Sandekala� yang dipentaskan Mainteater ini didukung oleh banyak pihak dan LSM, seperti Perkumpulan Seni Indonesia, ICW, Walhi, ELSAM, INFID, Perkumpulan Praxis, Dewan Kesenian Jakarta, Institut Ungu, Remdec, Pengelola GK Rumentang Siang, HUMA, dan didanai oleh Hivos, ICCO dan Yayasan Tifa.
Dukungan sebanyak ini tidak mengherankan karena naskah �Sandekala� ini sarat dengan pesan moral dan pesan sosial. Cerita yang diangkat dari karya Godi Suwarna yang memenangkan hadiah sastra Rancage 2008 ini menyinggung soal �penyakit� akut yang menggerogoti moral dan keuangan bangsa, yaitu korupsi. Selain itu, ada persoalan lingkungan yang kian hari kian mengerikan.
�Kasus yang menyangkut lingkungan hidup sering kali sarat dengan kasus korupsi,� kata Chalid Muhammad, eksekutif produser, pada jumpa pers, Senin (21/7). Menurut Chalid yang juga bekerja untuk Walhi, pementasan ini merupakan metode baru untuk mengampanyekan lingkungan.
Itu sebabnya, penyelenggara juga mengundang para pelajar untuk menonton pementasan dan mengajak mereka berdiskusi. Sebuah upaya pendidikan tentang buruknya korupsi kepada generasi muda.
Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0807/23/hib01.html
Jakarta � Dengan telaten, ibu Pandu memijit anaknya yang sakit. Pandu sakit akibat terlalu lelah berunjuk rasa untuk melawan Pak Camat yang gemar korupsi dan melakukan pelanggaran HAM di Desa Kawali, Ciamis.
Pak Camat, penguasa tempat tinggal Pandu, mempunyai segala sifat buruk yang pantas dihujat seluruh rakyatnya. Ia yang berperut buncit ini senang mengganggu gadis-gadis di desanya. Ia juga dikenal bertangan besi dan rakus melahap seluruh proyek yang terhidang di hadapannya. Begitu rakusnya, Pak Camat senang meneror. Salah satu korban terornya adalah tukang ojek.
�Bagaimana hasil hari ini, sudah dapat berapa dari kutipan pada ojek. Kalau mereka tidak mau membayar, kamu pukul saja hingga babak belur,� kata Pak Camat kepada Kuwu anak buahnya. Salah satu yang menjadi korban kerakusan Pak Camat adalah Dadang. Akibat tidak bisa memberi kutipan, Dadang babak belur dipukul oleh kaki tangan Camat rakus tersebut.
Tapi, kezaliman tidak bertahan selamanya. Masyarakat Desa Kiwali lama-lama gerah juga melihat kerakusan dan kebrutalan Pak Camat. Demonstrasi pun terjadi dan semakin tidak terkontrol.
Sindiran
�Sandekala�, cerita yang diangkat dari pemenang hadiah sastra Rancage 2008 karya Godi Suwarna dipentaskan selama dua hari, Selasa (22/7) dan Rabu (23/7), di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dalam dua bahasa, Indonesia dan bahasa Sunda.
Judul Sandekala diambil dari aksara Suna Kuno dalam prasasti Astana Gede, atau dikenal dengan sebutan prasasti Kawali.
�Namun, lebih tepatnya Sandekala adalah sindiran tajam yang memindahkan peristiwa 1998 dengan korupsi sebagai akar masalah ke dalam sebuah cerita,� ujar Wawan Sofwan, sutradara.
Wawan memang memilih setting 1998 untuk menuturkan krisis sosial dan moral yang terkandung di dalam �Sandekala�. Untuk melukiskan demonstrasi yang besar, Wawan mengambil video klip dokumenter unjuk rasa pada 1998.
�Kekerasan demi kekerasan ini ternyata sudah bukan lagi dalam lingkup perintah camat, melainkan hingga bupati. Pementasan �Sandekala� ini sengaja kita angkat untuk mengingatkan bahwa saat ini korupsi sudah terjadi di mana-mana,� kata Wawan.
�Sandekala� yang dipentaskan Mainteater ini didukung oleh banyak pihak dan LSM, seperti Perkumpulan Seni Indonesia, ICW, Walhi, ELSAM, INFID, Perkumpulan Praxis, Dewan Kesenian Jakarta, Institut Ungu, Remdec, Pengelola GK Rumentang Siang, HUMA, dan didanai oleh Hivos, ICCO dan Yayasan Tifa.
Dukungan sebanyak ini tidak mengherankan karena naskah �Sandekala� ini sarat dengan pesan moral dan pesan sosial. Cerita yang diangkat dari karya Godi Suwarna yang memenangkan hadiah sastra Rancage 2008 ini menyinggung soal �penyakit� akut yang menggerogoti moral dan keuangan bangsa, yaitu korupsi. Selain itu, ada persoalan lingkungan yang kian hari kian mengerikan.
�Kasus yang menyangkut lingkungan hidup sering kali sarat dengan kasus korupsi,� kata Chalid Muhammad, eksekutif produser, pada jumpa pers, Senin (21/7). Menurut Chalid yang juga bekerja untuk Walhi, pementasan ini merupakan metode baru untuk mengampanyekan lingkungan.
Itu sebabnya, penyelenggara juga mengundang para pelajar untuk menonton pementasan dan mengajak mereka berdiskusi. Sebuah upaya pendidikan tentang buruknya korupsi kepada generasi muda.
Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0807/23/hib01.html
Post A Comment:
0 comments: