by : Dwi Fitria

Di tabet Surawisesa, sebuah hutan keramat tempat prasasti kerajaan Galuh berada, seorang Kuncen sedang mengungkapkan keresahannya. Ia gerah melihat kondisi daerahnya yang diwarnai oleh ketidakadilan dan sifat korup para pejabatnya. Ia berdialog dengan suara seekor burung kepodang yang konon adalah utusan putri Dyah Pitaloka yang tewas dalam peristiwa tegal Bubat.

Wilayah ini diperintah oleh seorang camat bernama Suroto. Seorang pejabat yang lalim. Setiap tindakannya seolah tak pernah lepas dari keserakahan dan ketamakan. Ia kerap berkolusi dengan para kontraktor yang membangun prasarana di wilayahnya, menyetujui diadakannya pasar malam di alun-alun kota yang letaknya amat dekat dengan masjid agung, sekolah, dan rumah sakit.

Tanpa tendeng aling-aling, camat juga berani menebang pepohonan di tabet yang sesungguhnya amat dikeramatkan juga dilindungi oleh warga sekitarnya. Tindakannya ini memancing kemarahan warga, yang merasa tradisi turun-temurunnya telah disepelekan oleh si camat.

Sekelompok pemuda yang muak melihat tindak-tanduk camat berencana mengadakan demonstrasi besar-besaran. Saat berlangsung demonstrasi menjadi tak terkendali, sekelompok penyusup memprovokasi, dan demonstrasi pun berubah jadi anarki.

Cerita ini adalah bagian dari lakon teater berjudul Sandekala yang dipentaskan di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, pada 22 dan 23 Juli 2008 lalu. Pertunjukan menghabiskan waktu sekitar dua jam, dan cukup banyak dihadiri penonton.

Lakon ini diangkat dari sebuah novel berjudul sama, pemenang hadiah sastra Rancage 2008. Novel ini ditulis oleh Godi Suwarna dengan menggunakan bahasa Sunda. Godi menulis novel ini terinspirasi peristiwa 1998, titik kulminasi ketika keadaan Indonesia memanas dan demonstrasi terjadi di mana-mana.

Pun adaptasi naskah panggung oleh Wawan Sofwan, sesungguhnya juga dibuat berbahasa Sunda. " Tetapi begitu kami mendapatkan tawaran untuk main di Taman Ismail Marzuki, kami juga membuat versi bahasa Indonesianya bagi penonton yang tak memahami bahasa asli lakon ini," kata Godi Senin (21/7) lalu. Pertunjukan yang memakan waktu kurang lebih dua jam itu cukup banyak dihadiri penonton.

Lakon Korupsi

Setelah menggarap lakon Nyi Ontosoroh yang dipentaskan pada akhir Juli 2007 lalu, Wawan Sofwan berkeinginan untuk menampilkan lakon lain bertema korupsi. Saat itu yang terpikirkan olehnya adalah Korupsi karya Pramoedya dan Ladang Perminus karya Ramadhan KH. Pilihan jatuh pada karya Ramadhan KH.

Pikiran Wawan berubah ketika seorang pejabat provinsi Jawa Barat mengatakan bahwa teater Sunda sudah tidak diminati lagi karena ketinggalan zaman dan temanya sudah terlalu usang. Pernyataan sepihak ini kemudian mendorongnya untuk membuat sebuah lakon berbahasa Sunda. Tanpa sengaja ia menemukan novel Sandekala. Novel bernuansa kritik sosial yang mengambil seting 1998 ini, dirasakan Wawan amat cocok dijadikan naskah Drama. Ditambah lagi tahun ini menggenapi sepuluh tahun reformasi.

Menurut Andy K Yuwono, salah satu produser pementasan ini, muatan sosial tak hanya korupsi, kesadaran akan kelestarian lingkungan, gerakan mahasiswa, juga khazanah kearifan lokal juga ikut terkandung dalam lakon ini. Dalam cerita juga dikisahkan perwujudan Dyah Pitaloka dan mahluk penghuni alam "lain" yang dikisahkan muncul untuk memberikan peringatan kepada masyarakat.

Sehingga diharapkan penonton kemudian pulang dengan penyadaran di kepalanya tentang masalah-masalah aktual yang masih menjadi problem serius di negeri ini.

Agar tak menguap begitu saja, sebelum pertunjukan malam hari, diadakan juga pertunjukan siang hari pada 22 Juli 2008 yang khusus diperuntukkan bagi para siswa sekolah menengah. Lepas pementasan diadakan sebuah diskusi untuk merangsang penyadaran masalah korupsi di kalangan siswa. Undangan disebarkan ke sekitar 80 sekolah yang diharapkan bisa menjaring hingga 800 orang pelajar.

Selama pertunjukan beberapa gangguan teknis semisal sound, terasa sedikit mengganjal jalannya pertunjukan. Di luar hal itu, muatan tentang masalah korupsi yang hingga saat ini masih merajalela di nyaris seluruh sendi kehidupan di Indonesia, adalah sebuah hal yang wajib dicermati, dan tak boleh alpa direnungkan.

Pertunjukan ini diselenggarakan oleh Perkumpulan Seni Indonesia, Mainteater, WALHI, dan Indonesian Corruption Watch. Sebelumnya lakon ini telah dipentaskan di Bandung pada 23 dan 24 Mei 2008 lalu.

Sumber: http://jurnalnasional.com/?med=Koran%20Harian&sec=Halaman%20Muka&rbrk=Feature&id=59335&postdate=2008-07-27&detail=Halaman%20Muka
Axact

Axact

Vestibulum bibendum felis sit amet dolor auctor molestie. In dignissim eget nibh id dapibus. Fusce et suscipit orci. Aliquam sit amet urna lorem. Duis eu imperdiet nunc, non imperdiet libero.

Post A Comment:

0 comments: