Greg Kenton memiliki segudang bakat, padahal umurnya baru belasan tahun. Di bidang olahraga, dia jago bermain bisbol dan sepak bola. Di bidang kesenian, suaranya juga jernih ketika bernyanyi dan bisa bermain piano. Tak hanya itu, membuat sketsa dan menggambar adalah hal yang gampang buat dia. Di bidang akademik, dia bisa mengikuti semua pelajaran dengan baik, mulai dari membaca, menulis, IPA, dan IPS. Namun, bakat yang paling menonjol yang dia miliki adalah yang berhubungan dengan uang. Dan bakat ini sangat mendukung cita-citanya untuk menjadi menjadi orang yang kaya raya. Dia berharap dengan mempunyai uang yang sangat banyak, dia bisa membeli barang-barang dia inginkan, mengunjungi banyak tempat, serta melakukan apa saja yang dia mau. Dan untuk mewujudkan cita-citanya, dia pun mulai merintis usaha �kecil-kecilan� semenjak usianya belum memasuki usia sekolah. Dia bekerja keras untuk mengumpulkan uang, sen demi sen, dolar demi dolar. Mulai dari bisnis merapikan kamar tidur dua saudaranya, mendaur ulang sampah, menjual barang loakan, menyemir sepatu pesta orang tuanya, membersihkan pekarangan, menjual limun, menjual mainan, sampai membuat komik mini. Semuanya dia kerjakan dengan tekun dan kerja keras. Kisah Greg ini tertuang dalam buku �Lunch Money� karangan Andrew Clements, terbitan Simon and Schuster, New York. Kemudian diterjemahkan oleh Mukti Mulyana dengan judul �Uuang Jajan� dan diterbitkan oleh Little Serambi.
Menjadi orang yang kaya raya adalah tujuannya. Dan untuk menjadi kaya raya, mengumpulkan uang yang sangat banyak adalah salah satu solusinya. Uang, uang, dan uang. Alat tukar untuk bertransaksi bisnis ini menjadi barang yang sangat penting. Namun jauh sebelum konsep uang dikenal sebagai alat transaksi, dikalangan primitif sistem pertukaran dalam kehidupan sehari-hari masih dilakukan dengan menggunakan benda atau barang. Proses ini lazim disebut dengan sistem barter, dimana benda atau barang yang dipertukarkan itu ditaksir dengan suatu nilai yang disetujui dan disepakati oleh pihak-pihak yang terlibat dalam sebuah transaksi. Bahkan, masyarakat primitif menganggap kalau pola pertukaran dalam bentuk barter ini mengandung nilai moralitas tertentu yang sesuai dengan nilai-nilai esensial yang diyakini oleh masyarakat bersangkutan. Karena bagi mereka, transaksi peralihan kepemilikan suatu benda atau barang dari satu orang ke orang lainnya bukan hanya menyangkut sebuah transaksi peralihan benda atau barang semata, tetapi merefleksikan hal yang disebut para ahli antropologi sebagai cosmic balanca dan social order (Johnny Parry and Maurice Bloch, 1989).
Seorang peneliti sosial, Amich Alhumami, dari Departemen Sosial Antropologi, Universitas Sussex, Inggris, dalam sebuah tulisannya menyatakan bahwa uang mempunyai empat esensi moralitas, yakni:
Pertama, melambangkan penghargaan dan penghormatan di antara sesama anggota masyarakat dalam suatu bangunan struktur sosial yang berlapis-lapis. Anggota masyarakat dari lapisan sosial yang berbeda dalam struktur hirarki sosial bisa saling berinteraksi tanpa pembatas.
Kedua, merawat relasi horizontal antar warga dan memperkuat harmoni sosial sehingga setiap warga memperoleh kenyamanan dan ketenteraman dalam kehidupan kemasyarakatan. Harmonium merupakan sendi dasar dalam relasi sosial yang harus dijaga melalui kebersamaan.
Ketiga, membangun dan meneguhkan solidaritas sosial untuk memperkuat ketahanan masyarakat atas dasar keterikatan emosional dan pertalian kekerabatan.
Keempat, memperkokoh dan memantapkan daya rekat sosial guna mencegah dan mengeliminasi potensi konflik serta menghindari friksi di dalam masyarakat, bahkan yang berskala kecil sekalipun.
Masyarakat primitive menjadikan keempat esensi moralitas pertukaran di atas sebagai bingkai kehidupan yang dapat memelihara keteraturan sosial dan membangun keselarasan dalam kehidupan keseharian. Jadi, tidak mengherankan bila keseimbangan kosmik dan ketertiban sosial dapat terjaga secara berkelanjutan. Namun sayangnya, di kehidupan modern sekarang ini, nilai esensi moralitas tersebut telah bergeser jauh. Uang pun dijadikan sebagai alat tukar untuk memperdagangkan kekuasaan, kewenangan, keputusan, serta komersialisasi jabatan. Semata-mata hanya untuk menumpuk materi demi mencukupi kebutuhan konsumsi yang telah melewati batas kecukupan untuk sekedar menikmati hidup. Kebutuhan seolah tidak pernah tercukupi, bertambah dari hari ke hari, dan segala cara dilakukan untuk mendapatkan uang dalam pemenuhan kebutuhan tersebut. Manusia seolah tidak perduli telah melanggar nilai kepatutan, tetapi bahkan telah merusak tatanan nilai, etika, dan norma yang menjadi sendi dasar ketertiban dalam kehidupan sosial dan bermasyarakat. Ini terbukti dengan maraknya kasus suap yang berujung pada kasus korupsi di berbagai instansi di Indonesia, yang telah merusak sistem akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersih. Mulai dari kasus korupsi dana nonbudgeter di PT. Kantor Pos Indonesia WIlayah IV, kasus korupsi pengadaan alat pendeteksi virus flu burung di Departemen Pertanian, kasus penyuapan terkait pengadaan kapal di Ditjen Perhubungan, kasus korupsi di Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai, kasus korupsi penjualan kapal tanker raksasa di PT. Pertamina, kasus penyalahgunaan jabatan oleh mantan Dirut TVRI, kasus korupsi proyek Gerakan Rehabilitasi Nasional Hutan dan Lahan di Departemen Kehutanan, sampai kasus suap yang terjadi di Kejaksaan Agung. Dan masih banyak lagi kasus-kasus korupsi yang terjadi di departemen lain seperti: Departemen Luar Negeri, Departemen Sosial, Departemen Hukum dan HAM, Departemen Dalam Negeri, Bank Indonesia, PT. Taspen, Komisis Yudisial, sampai ke TNI. Dan yang lebih memiriskan adalah kasus suap yang melibatkan anggota dewan yang terhormat, yang seharusnya bertindak sebagai penyambung lidah aspirasi rakyat, terkait dengan kasus alih fungsi hutan di Bintan, Kepulauan Riau, yang juga melibatkan Sekretaris Daerah setempat. Belum lagi dengan kasus alih fungsi hutan mangrove di Tanjung Api-api, Sumatera Selatan. Bahkan alam (hutan) pun dijarah demi menumpuk materi, jadi tidak mengherankan ketika alam menuntut balik dengan ketidakadilan yang diterimanya. Bencana alam pun terjadi, mulai dari banjir, tanah longsor, hingga ke pemanasan global. Alam pun seolah menuntut perubahan untuk diperlakukan secara baik dan bijaksana.
Mainteater dalam lakon Sandekala pun menuntut perubahan yang diawali dengan kisah perbincangan Ki Kuncen dengan seekor burung kepodang di sebuah tempat yang bernama Tabet Surawisesa. Kemudian diikuti dengan kisah camat Suroto yang seharusnya mengayomi rakyatnya malah menyalahgunakan kekuasaan serta wewenangnya telah berani menebang pohon dari hutan keramat yang dijaga oleh Ki Kuncen, yang dari generasi ke generasi sangat dijaga kesakralannya. Hal ini membuat masyarakat yang diwakili pemuda dan mahasiswa menjadi berang dan memprotes tindakan tersebut. Belum lagi permintaan pemindahan lokasi pasar malam yang dapat mengganggu ketentraman dan kenyamanan karena berdekatan dengan areal peribadatan, seolah tidak ditanggapi oleh sang camat hanya karena menganggap hal itu akan mengurangi uang �pemasukan�. Dan seperti biasa, suara-suara kebenaran harus dibungkam dengan cara apapun, tak ketinggalan orang-orang yang menyuarakannya pun harus ditumpas. Bagus (Chandra Kudapawana), seorang wartawan, yang juga cucu Ki Kuncen satu-stunya, yang mengungkap kasus keculasan seorang walikota, malah di PHK oleh perusahaan surat kabar tempatnya bekerja. Dan lebih tragis lagi, para pemuda dan mahasiswa yang memprotes penyalahgunaan kekuasaan harus meregang nyawa ditengah serbuan peluru yang membabi buta menyerang tubuh mereka, saat bersembunyi di Tabet Surawisesa.
Lakon ini dipentaskan pada hari Selasa, 22 Juli 2008, jam 20.00 WIB, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail, dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantarnya. Dari segi cerita, lakon ini terasa sangat pas dengan momentum dimana kasus korupsi di Indonesia semakin banyak yang terkuak, dan semoga ini menjadi penyemangat buat KPK untuk lebih menunjukkan taringnya dalam memberangus pelaku-pelaku korupsi. Pentas ini juga memberikan humor lewat bahasa tubuh dan celetukan Didon (Kodrat Firmansyah) yang cukup natural untuk membantu mehilangkan rasa jenuh dan kantuk penonton pentas yang berlangsung selama lebih dari 3 jam ini. Namun, di beberapa adegan, musik latar yang terlalu keras seolah beradu dengan suara pemain, yang membuat penonton tidak bisa mengikuti dialog antar pemain secara jelas. Belum lagi, adegan konyol si Otong yang awalnya terasa lucu, namun akhirnya terasa berlebihan dan garing.
Sebelumnya, lakon Sandekala yang diadaptasi dari novel berjudul sama, ditulis oleh Godi Suwarna, juga telah dipentaskan di Bandung pada tanggal 23 dan 24 Mei 2008, dengan menggunakan bahasa Sunda. Sandekala yang disutradarai oleh Wawan Sofwan ini pun akan kembali dipentaskan dengan menggunakan bahasa Sunda pada tanggal 23 Juli 2008, pukul 20.00 WIB, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Sungguh menyedihkan, ternyata masyarakat primitif justru lebih kuat dalam memegang prinsip-prinsip moralitas dalam memaknai pertukaran melalui aneka bentuk kearifan tradisional sehingga mampu menjaga keseimbangan kosmik dan keteraturan sosial. Dapat dipastikan kalau uang bukanlah �dewa� buat mereka yang harus dipuja, dikumpulkan, dengan menghalalkan segala cara. Dan Greg Kenton juga sangat berbeda dengan pelaku-pelaku korupsi di negeri ini dan dimanapun, karena dia lebih menyukai bekerja keras untuk mendapatkan dan mengumpulkan uang yang halal. Pelan-pelan menjadi kaya adalah sebuah proses membentuk kesabaran yang dinikmatinya.
Sumber: http://neutroncobol.multiply.com/reviews