May 2008
no image
ren

Suara gergaji mesin memekakan telinga. Beberapa menit kemudian, pohon-pohon bertumbangan. Dengan izin yang dimiliki, petugas kecamatan meminta pohon yang masih berdiri, dirobohkan. Maklum, dia berencana akan membuat rumah. ''Lumayanlah, tidak perlu mengeluarkan uang untuk beli kayu,'' pikirnya.

Melihat niat atasannya, petugas kecamatan yang lain pun mengikuti jejaknya. Ia meminta pohon yang melindungi tempat keramat itu dibabat habis. Surat izin itu dikeluarkan oleh camat yang dicurigai selalu korup dan memerintah dengan tangan besi. Dalam pikirannya hanya ada satu kata 'proyek', dan berkolusi dengan kontraktor pembangunan gedung olah raga, pasar dan lainnya.

Sang camat menyetujui penyelenggaraan pasar malam di alun-alun kota, padahal tempat tersebut dekat sekali dengan masjid agung, sekolah, dan rumah sakit. Namun, suatu hari, ada kuwu yang dimarahi habis-habisan karena melaporkan wabah demam berdarah kepada wartawan sehingga camat tersebut ditegur bupati.

Lama-kelamaan terjadilah krisis kepercayaan dari masyarakat kepada camat. Masyarakat pun merasa gerah dan kian berani mengajukan protes atas tindak tanduk camat. Alih-alih ditanggapi, protes itu berbuntut dengan penculikan terhadap tokoh-tokoh masyarakat yang dinilai sangat vokal.

Seorang putri camat yang kebetulan mahasiswa, pro pada para penentang ayahnya. Dia selalu membocorkan rapat-rapat musyawarah pimpinan kecamatan (muspika) kepada teman-temannya. Karena itu, penculikan dalam jumlah besar bisa dihindari. Para pemimpin demonstran bersembunyi di tempat keramat dan menyusun kembali strategi untuk demonstrasi yang akan melibatkan banyak elemen.

Esok harinya Kota Kawali dibanjiri demonstran. Unjuk rasa pun tidak terkendali. Kantor polisi dibakar, koramil dimusnahkan, pasar diserbu dan dijarah. Kawali luluh lantak.

Setelah diselidiki ternyata ada sekelompok orang yang sangat brutal. Padahal, kelompok itu bukan berasal dari daerah tersebut. Bupati sebagai atasan camat langsung menurunkan petugas. Para pimpinan demonstran dicari dan dikejar. Mereka lari dan sembunyi di tempat keramat. Saat Subuh, melalui serangan fajar, para demonstran yang sembunyi dimusnahkan.

Cerita Sandekala yang dipentaskan di Gedung Kesenian Rumentang Siang, Jumat (23/5) ini tak hanya menyajikan panggung sandiwara. Pementasan ini menampilkan juga potret kehidupan di Indonesia yang begitu mengagungkan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Dalam cerita ini diperlihatkan, begitu berkuasanya nafsu manusia. KKN di tingkat kecamatan saja bisa membuat nyawa melayang.

Di beberapa bagian, Sandekala mengembalikan memori penonton pada kejadian Mei 1998. Terlebih, saat potongan video tragedi Semanggi dijadikan latar dalam pementasan tersebut. Bagaimana mahasiswa yang berteriak menyuarakan keinginan rakyat dihadiahi peluru.

Kesan perjuangan sekelompok orang yang heroik begitu kental dalam cerita yang dipentaskan dengan durasi sekitar 2,5 jam. Untuk ukuran teater, durasi panjang akan membuat penonton lelah. Namun, tidak dalam Sandekala yang diangkat dari Novel Godi Suwarna dengan judul yang sama.

Sutradara, Wawan Sofwan, dengan apik menyelipkan cerita cinta sang putri camat dengan tokoh pemuda kampung yang merupakan teman kuliahnya. Kisah percintaan sederhana yang dibungkus gerakan tubuh serta dialog yang lucu membuat penonton tertawa terbahak-bahak.

Begitupun penempatan seorang putri cantik penghuni tempat keramat. Meskipun tema ceritanya terpisah, namun kehadiran putri bersama sejarah yang dibawanya yakni cerita Diah Pitaloka, membuat pementasan tidak menjemukan. Bahkan, kalau diperhatikan secara seksama, setting panggung mewakili tempat yang berarti besar dalam sejarah Sunda yakni Prasasti Kawali dan cerita Putri Diah Pitaloka. Dalam sejarah Sunda, prasasti Kawali merupakan cikal bakal dari Padjajaran.

Pementasan Sandekala, merupakan kebahagiaan tersendiri buat Wawan Sofwan. Karena sejak lama ia memimpikan menggarap teater bertemakan korupsi. Ada beberapa novel yang dibidik Wawan yakni Korupsi karya Pramudya Ananta Toer dan Ladang Perminus karya Ramadhan KH. Namun secara tak sengaja, ia membaca novel berbahasa sunda berjudul Sandakela. Pilihan pun jatuh ke Sandekala.


http://www.republika.co.id/jurnalhaji/detail.asp?id=335863&kat_id=89
Kamis, 29 Mei 2008 23:59 Wida Waridah

Malam itu, Jumat, 23 Mei 2008, saya berjalan sendiri menyusuri sudut Kota Bandung. Dari Gedung Kesenian Rumentang Siang, menyusuri Jalan Sunda, lantas berbelok di Jalan Lengkong Kecil, dan berakhir di Jalan Lengkong Besar. Jam di pergelangan tangan saya menunjukkan pukul 23:15. Sudah larut ternyata, sedang pertunjukan yang baru saja saya tonton rasanya masih berputar dalam kepala. Durasi dua setengah jam itu cukup membuat saya berpikir ulang, kembali pada peristiwa 10 tahun yang lalu, Mei 1998.

Apa jadinya jika semua elemen pendukung keberlangsungan negara adalah sebuah rezim yang korup? Sandekala, sebuah pertunjukan garapan Wawan Sofwan yang diadaptasi dari novel karya Godi Suwarna menjawabnya dengan gamblang. Pertunjukan tersebut mau tidak mau telah menggiring ingatan saya pada peristiwa 10 tahun yang lalu di negeri ini.

Pementasan ini berkisah tentang seorang Camat yang korup, memerintah dengan tangan besi. Seorang kuwu dimarahi habis-habisan karena melaporkan wabah demam berdarah kepada wartawan sehingga Camat itu ditegur oleh Bupati. Melakukan kolusi dengan kontraktor pembangunan gedung olah raga, pasar, dan lain-lain. Bahkan Camat itu menyetujui penyelenggaraan pasar malam di alun-alun kota padahal tempat tersebut dekat sekali dengan Mesjid Agung, sekolah, dan rumah sakit. Dan yang paling menyakitkan, Camat itu berani menebang pohon dari tempat keramat yang selama ini sangat dilindungi oleh masyarakat. Masyarakat mulai gerah, sampai akhirnya berani mengajukan protes, namun protes itu diabaikan. Malahan salah satu tokoh masyarakat yang sangat vokal diculik.


�Buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya� atau �like father like son� begitu sebuah pepatah mengatakan. Tapi sepertinya pepatah itu tidak kena pada Dewi, anak dari seorang Camat yang korup. Putri Camat yang korup inilah yang kelak malah membocorkan rapat-rapat para pejabat di rumahnya kepada teman-temannya. Sehingga, penculikan yang lebih banyak bisa dihindari.


Salah satu adegan dalam pertunjukan teater Sandekala Foto: Utche Felagonna














Para pemimpin demonstran bersembunyi di sebuah tempat keramat dan menyusun kembali strategi untuk demonstrasi yang akan melibatkan banyak kelompok. Esok harinya terjadi demonstrasi besar-besaran. Awalnya unjuk rasa terkendali tapi tiba-tiba jadi tidak terkontrol, kantor polisi dibakar, koramil dimusnahkan, pasar diserbu dan dijarah, kantor camat dihancurkan. Kota luluh lantak.

Setelah diselidiki ternyata ada sekelompok orang yang sangat brutal, padahal kelompok tersebut bukan berasal dari daerah itu. Bupati sebagai atasan Camat langsung menurunkan petugas. Para pimpinan demonstran diburu. Mereka lari dan sembunyi di tempat keramat. Saat Subuh, melalui serangan fajar, para demonstran yang sembunyi itu dibinasakan.

Ironis, begitulah yang terjadi di atas panggung, begitu juga dengan peristiwa Mei 1998. Timah panas yang keluar dari moncong para pembela negara itu akhirnya bersarang di dada anak-anaknya sendiri yang semestinya dilindungi kehidupannya. Sepuluh tahun telah berlalu, peristiwa itu masih membekas dalam ingatan saya, dalam ingatan Anda juga saya kira.[end]

Wida Waridah, kontributor Mediabersama.com


Sumber: mediabersama.com

29 Mei 2008 - 14:5 WIB

Rosmi Julitasari S

Aki, penjaga (kuncen) hutan keramat di Kawali, gelisah. Kenaikan harga BBM, demonstrasi mahasiswa, pergantian pemimpin, pemanasan global, sampai pemecatan cucunya, Bagus Magenda, yang wartawan begitu meresahkan hatinya. Di tengah kegalauan hati, ia ungkapkan kelelahannya menjaga hutan keramat. Lelah menghadapi jiwa-jiwa serakah yang begitu ingin mengeksploitasi kemurnian hutan keramat yang diamanatkan untuk tetap dijaganya.

Kelelahan sang Aki mencapai puncak. Namun justru di saat itu datang beberapa kaki tangan Camat yang memaksa mengambil kayu dari hutan keramat tanpa mengindahkan - apalagi menghormati - wewenang Aki sebagai kuncen tempat itu.

Potongan cerita itu menjadi titik awal pementasan teater Sandekala pada 23-24 Mei 2008 di Gedung Kesenian Rumentang Siang, Bandung. Lakon itu dimainkan Teater Main pimpinan Wawan Sowfan yang juga sutradara dan penulis naskah lakon ini.

"Pementasan ini mengungkapkan semua permasalahan yang dihadapi rakyat di kelas bawah. Mungkin bagi sebagian orang uang sebesar 60 ribu rupiah tidak berarti apa-apa, tapi bagi mereka yang berada di lapisan ekonomi paling bawah, uang itu bisa berarti jauh," ujar Wawan Sofwan.

Pernyataan ini merujuk pada tokoh Dadang, tukang ojek yang ngotot tidak mau membayar uang keamanan Rp 60 ribu rupiah kepada preman setempat. Dadang kemudian bergabung dengan tukang ojek lain yang bergabung dengan mahasiswa, pemuka agama setempat, dan - tentu saja - Bagus Magenda. Mereka bersatu memprotes petinggi kecamatan yang bersikeras mengadakan pasar malam. Kesulitan ekonomi yang kian menjepit, ditambah pasar malam yang diadakan berdekatan dengan sarana ibadah, rumah sakit, dan sekolah, membuat warga berkeberatan terhadap pasar malam tersebut.

Warga protes, namun Suroto, Camat Kawali, jalan terus. Ia tidak peduli meski Dewi, anak perempuannya, terus memprotes. Dewi bahkan bergabung dengan warga yang memprotes kebijakan Suroto.

Korupsi yang dilakukan Camat Suroto menjadi sorotan cerita dalam pementasan teater berbahasa Sunda ini. Korupsi pula yang menjadi pangkal permasalahan cerita. Suroto memerintah Kecamatan Kawali dengan sewenang-wenang dan penuh praktik korupsi. Ia berkolusi dengan pemilik toko bahan bangunan untuk proyek pembangunan sarana olah raga supaya bisa mendapatkan untung besar - yang tentu saja masuk ke kantong pribadi. Dan seperti yang terjadi di awal cerita, ia memerintahkan bawahannya untuk menebang pohon keramat di hutan.

Konflik terus berkembang dan semakin menajam. Seorang warga begitu vokal memprotes kesewenang-wenangan Camat hilang - diduga diculik oleh aparat setempat, sementara yang lain diburu untuk ditangkap. Mereka yang diburu lari bersembunyi di hutan keramat, tempat yang justru menjadi ladang pembantaian mereka.

Cerita kemudian berujung pada penembakan para aktivis warga yang bersembunyi di hutan. Dengan cerdas Wawan Sofwan menggambarkan pertumpahan darah melalui air berwarna merah yang dikucurkan oleh sosok perempuan misterius.

Teater Sandekala mementaskan cerita yang merujuk pada masa reformasi 1998 dan diambil dari novel berjudul sama karya Godi Suwarna, sastrawan Sunda. Berkat novel Sandekala, Godi Suwarna meraih penghargaan Rancage tahun 2008, penghargaan tahunan yang diberikan untuk sastra Sunda, Jawa, dan Bali.

Pementasan teater berbahasa Sunda di tanah Pasundan semestinya menjadi hal yang menarik, apalagi mengangkat tema korupsi dan lingkungan. "Namun sepertinya masyarakat Bandung kurang apresiatif terhadap pementasan teater. Gedung Kesenian Rumentang Siang tidak pernah terisi penuh hingga pertunjukan terakhir," kata Andi K Yuwono, produser pementasan teater ini.

Terlepas dari berbagai kendala dan kekurangan di sana-sini, teater ini berhasil mengingatkan kembali pada reformasi yang bergolak 10 tahun lalu. Masih ada setumpuk pekerjaan rumah yang harus diselesaikan bangsa ini. Penanggulangan kemiskinan, taktik ekonomi untuk mencegah kenaikan harga kebutuhan pokok, pencegahan dan pemberantasan berbagai bentuk praktik korupsi, serta penerimaan berbagai pendapat dan kritik sebagai konsekuensi atas perwujudan demokrasi, masih sering dirnafikan, meski satu dekade telah lewat. "Semoga pementasan teater ini mengingatkan kembali masyarakat Indonesia pada peristiwa reformasi 1998," kata Wawan Sofwan.

Lakon Sandekala akan dipentaskan kembali di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki, 22-23 Juli 2008. Di ibu kota negara Sandekala akan dipentaskan bahasa Sunda dan bahasa Indonesia. (E4)


Sumber: VHRmedia.com - foto: Ida Widaningsih
no image
"Sandekala memiliki beragam arti. Setidaknya itu yang saya ketahui. Semasa kecil, saya mengenalnya sebagai sosok raksasa akan datang mengambil anak nakal. Itu kata orang-orang di sekitar rumah saya."

Namun, buat Wawan Sofwan, seorang sutradara teater, sandeka- la bukan lagi berarti sosok raksasa. Sebuah buku untuk anak-anak mencantumkan sandekala sebagai gejala alam akibat perubahan waktu yang terjadi dari siang ke malam, ditandai oleh adanya lembayung. Cuaca pada saat itu sangat tidak baik untuk kesehatan.

Dalam bahasa Sasak Lombok, kata yang sama berarti waktu setelah salat asar menjelang magrib. Bagi penduduk etnis Sasak, sandekala diartikan sebagai titik rawan. Saat itu, semua orang, anak-anak dan dewasa harus menghentikan aktivitas sejenak untuk menyongsong waktu salat magrib dan mengaji. Malah, bayi tidak boleh dibawa ke luar rumah, agar tidak kerasukan makhluk gaib.

Kalau ditarik garis merahnya, semua berakhir pada masa jeda atau transisi, ketika siang baru saja beranjak, sementara hari belum menapaki malam.

Wawan membacanya sebagai sebuah semangat perlawanan, dengan empat tema besar, korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, persoalan lingkungan, dan kearifan lokal.

Wawan tidak sendiri menggarapnya. Dia bekerjasama dengan mainteater yang biasa menggarap teater kontemporer berbahasa Indonesia. Bahasa? Ya, Sandekala ditampilkan dalam dua bahasa, Sunda dan Indonesia.

Khusus di Gedung Kesenian Rumentang Siang Bandung, Sandekala menggunakan bahasa ibu dari penulisnya, Godi Suwarna, bahasa Sunda. Pementasan berlangsung dari Jumat (23/5) hingga Sabtu (24/5). Pementasan berbahasa Indonesia bakal berlangsung di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada tanggal 22 hingga 23 Juli 2008.

Wawan mengaku tidak sengaja membeli novel karya Godi berjudul Sandekala, yang mendapatkan penghargaan Sastra Rancage 2008. "Temanya sangat menarik dan sangat kontektual. Peristiwa Mei 1998. Bukankah tahun ini persis sepuluh tahun reformasi," ungkap dia.

Semuanya berawal dari kerakusan seorang camat yang memerintah dengan tangan besi di kawasan Kawali, Ciamis. Dia tidak segan-segan menyikat seluruh proyek yang ada di depannya, asalkan jelas pemasukan buat kantongnya sendiri. Malah, dia tidak menampik teguran dari Ki Kuncen soal penebangan di hutan keramat, Tabet.

Saking rakusnya, camat yang mengepalai beberapa tukang pukul ini juga meneror para tukang ojek. Setiap tukang ojek harus memberinya kutipan. Kalau tidak membayar bakal babak belur seperti Dadang.

Dewi, si anak camat tidak tahan dengan kelakuan bapaknya. Bermodalkan pengalaman unjukrasa ketika menjadi mahasiswa di kampusnya, dia bersama Pandu, kekasihnya yang berasal satu kampung melakukan perlawanan.

Mereka berdemonstrasi. Terlebih ketika camat tidak mau memindahkan pasar di alun-alun kota yang berdekatan dengan tempat ibadah. Masyarakat mulai gerah dan semakin berani. Akibatnya unjuk rasa semakin menjadi dan tidak terkontrol.

Kondisi ini digambarkan lewat potongan-potongan klip video dokumentasi unjukrasa di Jakarta, 10 tahun lalu. Desingan peluru, pemukulan oleh aparat, tangisan, dan korban kekerasan mendominasi.

Kekerasan demi kekerasan ini ternyata sudah bukan lagi dalam lingkup perintah camat, melainkan bupati. Para pengunjuk rasa yang bersembunyi di hutan keramat, dibinasakan semuanya.



Sunda Kuno

Menariknya, pementasan teater ini juga memasukkan unsur kearifan lokal dalam visualisasinya. Adapun yang diambil adalah aksara Sunda kuno dalam prasasti Astana Gede atau dikenal dengan sebutan prasasti Kawali.

Prasasti ini merupakan sakakala atau tugu peringatan untuk mengenang kejayaan Prabu Niskala Wastu Kancana, penguasa Sunda yang bertahta di Kawali, putra Prabu Linggabuana yang gugur dalam perang Bubat.

"Ini merupakan upaya kami untuk menghidupkan kembali budaya lokal yang selama ini dipinggirkan," kata Wawan dalam pengantar sandiwaranya.

Pementasan teater Sandekala ini bekerja sama dengan Perkumpulan Seni Indonesia (PSI), ELSAM, INFID, Perkumpulan Praxis, Voice Of Human Right, Transparancy International Indonesia, Indonesian Corruption Watch, dan Wahana Lingkungan Hidup.

Sandekala bisa jadi punya arti baru lagi. Setidaknya dari pementasan itu, bisa menjadi motivasi untuk perjuangan gerakan antikorupsi. [SP/Adi Marsiela]


Sumber: Suara Pembaruan, 27 Mei 2008
no image
Prakarsa Rakyat,

Perkumpulan Seni Indonesia (PSI), ICW, WALHI, Mainteater didukung oleh Komunitas Indonesia Menggugat, Elsam, INFID, Praxis, Dewan Kesenian Jakarta, Institut Ungu, Pengelola GK Rumentang Siang dengan bantuan dana dari Hivos, ICCO dan Yayasan Tifa bekerja sama untuk memproduksi pementasan teater Sandekala yang diangkat dari novel berbahasa Sunda pemenang hadiah sastra Rancage 2008 karya Godi Suwarna. Sebagai media partner, pementasan ini menggandeng Voice of Human Rights Media dan Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat, Forum Wartawan Bandung dan Jaringan Videomaker Indonesia.

Pada tanggal 22 Mei 2008 rangkaian pementasan teater Sandekala sebagai peringatan 100 tahun kebangkitan nasional dan 10 tahun reformasi diawali dengan diskusi publik. Sebagai pembicara panitia menghadirkan Dede Yusuf, Acep Iwan Saidi, Ucok Homicides dan Sely Martini dari ICW. Dalam diskusi tersebut dibahas bagaimana seniman bergerak di ranah sosial baik secara langsung maupun tidak langsung dalam bentuk karyanya maupun dalam kehidupan sehari-hari. Ucok Homicides sebagai pelaku seni, megatakan bahwa seniman tidak harus melulu menuangkan karya sebagai bentuk respon sosial. Namun dia menambahkan bahwa seniman sebagai bagian dari entitas sosial harus bekerja di akar rumput bersama masyarakat walau perannya kecil dalam pengorganisasian masyarakat. Menurut Acep Iwan Saidi, seniman mempunyai peran yang penting dalam menyuarakan masalah sosial, sepertinya halnya ketika Godi menulis Sandekala yang bertema anti korupsi, lingkungan dan HAM.

Wakil Gubernur Jawa Barat yang baru, Dede Yusuf memberikan pengalaman pribadi ketika masih aktif sebagai artis bahwa seniman terkadang masih terjebak pada feodalisme budaya ketika bekerja. Khusus mengenai korupsi, dia menambahkan bahwa sudah saatnya pejabat tidak berada di atas namun seharusnya berada di bawah rakyat sebagai bentuk pelayanan dan melaksanakan fungsinya.

Pementasan Sandekala sendiri berlangsung pada tanggal 23 dan 24 Mei yang lalu bertempat di Gedung Kesenian Rementang Siang pada pukul 13.00 dan 20.00. Walaupun kapasitas gedung tidak penuh, nampak antusiasme penonton dari kalangan muda dan perempuan cukup tinggi. Hampir 70 persen dari penonton merupakan kombinasi kaula muda dan perempuan. Wawan Sofwan sebagai sutradara berhasil menuangkan naskah Sandekala dalam panggung dengan tata panggung yang apik.

Godi Suwarna sebagai penulis novel yang diadaptasi juga hadir dalam pementasan tersebut. Bahkan panitia memberikan kejutan kepada Godi pada tanggal 23 Mei, tepat sebagai peringatan ulang tahunnya yang ke 52. Nampak banyak seniman Bandung turut memberikan ucapat selamat kepada Godi ketika pementasan hari pertama usai.

Rencananya Sandekala akan dipentaskan di Graha Bhakti Budaya, TIM Jakarta pada tanggal 22 dan 23 Juli mendatang. Pementasan akan menggunakan bahasa Indonesia untuk memperluas target penonton dan juga tentunya bahasa Sunda seperti yang sudah dipentaskan di Bandung. (aky)


Sumber www.prakarsa-rakyat.org
no image
BANDUNG(SINDO) � Suatu hari di sebuah desa, seorang camat memaki habis-habisan kuwu yang membocorkan kerahasiaan informasi tentang korupsi yang dilakukannya kepada wartawan.

Korupsi itu dilakukan camat dengan seorang kontraktor pembangunan gedung olahraga dan pasar.Parahnya lagi, dia telah menyetujui penyelenggaraan Pasar Malam di Alun-Alun Kota.Padahal, di lokasi tersebut dekat sekali dengan masjid agung, sekolah,dan rumah sakit.

Seiring waktu, warga setempat mulai hilang kepercayaan kepada camat tersebut. Hingga akhirnya sang camat terbukti bersalah dan dipenjara setelah melalui segala proses hukum.Kejadian tersebut membekas di hati warga bahwa memilih pemimpin bukan hanya dari kepintaran tapi keindahan hatinya.

Sepenggal cerita itu begitu menarik ditampilkan dalam teater bertajuk Sandekala �Sandiwara Cinta� di Gedung Kesenian Rumentang Siang, Jalan Kosambi, Kota Bandung,kemarin. Cerita yang diambil dari novel Bahasa Sunda karya Godi Suwarna itu ditampilkan selama dua hari pada 23�24 Mei 2008. Cerita tersebut dibalut dengan kesedihan di sebuah kota yang jauh dari pusat kekuasaan.

Namun, anehnya di sana malah terjadi segala bentuk kecurangan hidup, mulai dari korupsi, perampokan, pemerkosaan, dan segudang karut-marut kota. Imbas buruknya sistem pemerintahan di pusat Ibu Kota Jakarta kepada daerah juga diceritakan di sini. Dari cerita itu, seorang putri camat yang juga seorang mahasiswa juga menentang perilaku ayahnya yang amoral. Caranya dengan membocorkan rapat-rapat kepada teman-temannya.

Singkat cerita warga sekitar melakukan demonstrasi besar- besaran dan anarkistis. Kantor camat dihancurkan, pasar dijarah, sehingga kota menjadi luluh lantak. Pementasan dengan memakan waktu kurang dari tiga jam itu disutradarai Wawan Sofwan dan didukung oleh eksekutif produser Chalid Muhamad dari Wahli, FX Rudy Gunawan (PSI),dan J Danang Widyoko dari Indonesia Corruption Wacth (ICW).

Pementasan ini juga diniatkan untuk memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional dan 10 Tahun Reformasi 1998. Ini merupakan kerja sama teater ICW, Perkumpulan Seni Indonesia (PSI), Walhi, Perkumpulan Praxis,Voice of Human Right (VHR), Elsam, INFID, dan Transparancy International Indonesia. (dede ibin muhibbin)


Sumber: Sindo, Jumat, 23 Mei 2008
no image
Oleh: Cecep Burdansyah

BANDUNG, TRIBUN Wawan Sofwan, aktor yang sering melanglangbuangana membawakan lakon lakon bernuansa lokal Sunda, akan memvisualkan Sandekala dalam bentuk teater di Gedung Kesenian Rumentang Siang, Jalan Baranang Siang no 1, selama tiga hari mulai Kamis (22/5) ini sampai Sabtu (24/5). Tak tanggung tanggung, dalam satu hari akan dipentaskan dua kali, yakni pada pukul 13.00 dan 20.00.

"Sandekala" merupakan novel karya sastrawan Sunda Godi Suwarna yang dianugerahi hadiah sastra Sunda Rancage oleh Ajip Rosidi tahun ini.

Wawan Sofwan sendiri merupakan aktor handal yang sudah sering keliling luar negeri, terutama Eropa dan Australia. Ia antara lain pernah keliling Eropa mementaskan monolog dengan naskah carpon Sunda karya Hadi AKS, "Oknum".

Pementasan teater Sandekala ini juga akan diawali dengan diskusi yang digelar Gedung Indonesia Menggugat, Jalan Perintis Kemerdekaan, Bandung Kamis (22/5) pukul 10.00. Diskusi novel Sandekala akan menghadirkan pembicara, antara lain Wakil Gubernur Jabar terpilih Dede Yusuf, Tisna Sanjaya, Acep Iwan Saidi, Danang Widoyoko/Chalid Muhammad dengan pembicara Hawe Setiawan.

Pentas Sandekala ini untuk memperingati 10 tahun reformasi dan 100 tahun Kebangkitan Nasional. Menurut koordinator acara, Zhu Khie, pentas Sandekala merupakan persembahan kerja sama antara Mainteater, Indonesian Corruption Watch (ICW) dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jabar, Yayasan Tifa dan Perkumpulan Seni Indonesia.

Zhu Kie menjelaskan, pementasan itu merupakan kampanye isu antikorupsi, lingkungan dan hak asasi manusia (HAM). Sandekala sendiri merupakan novel yang mengisahkan peristiwa hari hari tumbangnya kekuasaan Orde Baru yang diwarnai dengan pelanggaran hak asasi manusia, di mana korbannya antara lain mahasiswa.(cep)


Sumber: http://www.tribunjabar.co.id/artikel_view.php?id=9674&kategori=7
no image
SIARAN PRESS PENTAS TEATER SANDEKALA


100 tahun Kebangkitan Nasional baru usai kita peringati. Ada banyak wacana, banyak unjuk rasa, banyak refleksi, dan berbagai kegiatan. Ada juga orang-orang besar dan berdedikasi pada bangsa ini yang berbahagia meninggalkan Indonesia kita di momen besar ini. Ali Sadikin, mantan gubernur DKI yang berjuang untuk membangun Jakarta, Oey Hay Djoen, mantan tahanan politik di Pulau Buru, dan SK Trimurti, pejuang perempuan yang luar biasa, adalah mereka yang pergi meninggalkan kita semua di tengah hiruk-pikuk perayaan 100 tahun Kebangkitan Nasioanal dan 10 tahun Reformasi. Apa makna kepergian mereka? Mungkin untuk mengingatkan kita semua betapa masih banyak penderitaan, persoalan, dan tantangan bagi bangsa ini agar bisa benar-benar �bangkit �. Nyatanya, saat ini kebangkitan nasional hanya tinggal slogan kosong yang habis digerogoti para koruptor dan kesewenang-wenangan para penguasa.

Korupsi adalah salah satu perilaku yang menggerogoti semua sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara bak virus ganas yang tak terhalangi oleh antivirus apapun. Korupsi sudah menjadi sebuah �budaya� yang mengakar di tubuh birokrasi sehingga menyatu dalam darah para birokrat di semua lini. Sebagai sebuah �wabah yang membudaya � diperlukan perlawanan dengan medium yang sama, yakni medium budaya. Korupsi merusak secara sistemik berbagai aspek dan dimensi kehidupan, termasuk perusakan manusia terhadap alam semesta. Hampir bisa dipastikan, korupsilah penyebab terbesar perilaku perusakan alam seperti penggundulan hutan, pengeksplotasian yang tak bertanggungjawab terhadap semua kekayaan di perut bumi, dan pencemaran lingkungan sampai ke lapisan ozon. Tak bisa ditawar lagi, kita perlu sebuah gerakan kebudayaan untuk melawan budaya korupsi dan membangkitkan kembali nilai-nilai kearifan lokal yang menghargai kehidupan harmonis antara sesama manusia dan antara manusia dengan alamnya.

Dengan kesadaran itulah, Perkumpulan Seni Indonesia (PSI), ICW, WALHI, Mainteater didukung oleh Komunitas Indonesia Menggugat, Elsam, INFID, Praxis, Dewan Kesenian Jakarta, Institut Ungu, Pengelola GK Rumentang Siang dengan bantuan dana dari Hivos, ICCO dan Yayasan Tifa bekerja sama untuk memproduksi pementasan teater Sandekala yang diangkat dari novel berbahasa Sunda pemenang hadiah sastra Rancage 2008 karya Godi Suwarna. Sebagai media partner, pementasan ini menggandeng Voice of Human Rights (VHR) Media dan Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat, Forum Wartawan Bandung dan Jaringan Videomaker Indonesia.

Bagi kami ini adalah langkah awal sebuah perlawanan berbasis kebudayaan untuk memerangi korupsi dan perusakan lingkungan dengan mengangkat nilai-nilai kearifan lokal sebagai titik pijaknya. Datang dan saksikanlah pementasan yang disutradarai Wawan Sofwan ini di Bandung, 23-24 Mei 2008 dan di Jakarta, 23-24 Juli 2008. Satukan tekad Anda untuk bersama-sama melawan budaya korupsi melalui gerakan kebudayaan.


Bandung 22 Mei 2008

Andi K. Yuwono
Produser

Wawan Sofwan
Produser & Sutradara

Chalid Muhammad, FX. Rudy Gunawan & J. Danang Widoyoko
Eksekutif Produser
no image
Akhirnya rencana demi rencana sudah hampir terpenuhi. Pada tanggal 22 Mei akan diadakan Diskusi Publik "Relevansi Seni Budaya dalam Gerakan Sosial" yang akan menghadirkan Dede Yusuf, Ucok Homicides, Aceh Iwan Saidi dan Danang Widoyoko. Diskusi akan berlangsung di Gedung Indonesia Menggugat. Di sini akan dibahas bagaimana seniman menyikapi kondisi sosial yang melanda negeri ini dari sudut pandang mereka, dan bagaimana peran negara dalam memberikan peluang terhadap sikap-sikap tersebut.

Sesi berikutnya akan diumumkan kepada publik tentang apa, siapa dan bagaimana Sandekala itu sebenarnya.

Pementasan teater sendiri akan berlangsung pada tanggal 23 dan 24 Mei setiap pukul 13.00 (untuk pelajar) dan 19.30 (untuk umum). Silahkan berbondong-bondong untuk mengikuti acara tersebut di atas. Jangan sampai kehabisan tempat.
no image
TERM OF REFERENCE


PENDAHULUAN

Korupsi. Sebuah perbendaharaan kata yang tak asing bagi Indonesia. Sebuah kata yang cukup menyengat telinga kita dalam kehidupan sehari-hari dan sering ditemukan di ruang privat dan publik kita.

Sejak reformasi 1998, penyakit ini semakin membahana di seluruh Indonesia dan menjadi sorotan dunia internasional. Demonstrasi yang mendengungkan tuntutan terhadap penyelesaian kasus ini sudah tak lagi terhitung mulai dari depan balai desa hingga depan Istana Negara. Penyakit ini sungguh kronis dan mewabah ke banyak kalangan, bahkan melindas kelompok yang sesungguhnya menjadi garda terdepan negara dalam penyelesaian kasus-kasus korupsi.

Lebih jauh lagi, korupsi tidak pernah berdiri sendiri. korupsi di negara ini seringkali bukan sekedar menjadi dampak dari kontrol birokrasi yang lemah, melainkan sebagai akar masalah. Berbagai tragedi politik dan pelanggaran hak asasi manusia terjadi berawal dari sebuah kasus korupsi. Rezim Soeharto misalnya, mempertahankan kekuasaan yang korup dengan berbagai cara, termasuk melanggar hak-hak dasar warga negara, diantaranya agar kepentingan ekonomi dan politik rezim terjaga. Yang terjadi kemudian di Indonesia bukan sekedar aplikasi dari pemeo �power tends to corrupt� melainkan �corrupt to get and maintain power�.

Dalam memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional dan 10 tahun reformasi dalam diksusi ini akan dibahas bagaimana masyarakat sipil, khususnya seniman melihat persoalan ini dan berbuat sesuatu untuk terlibat dalam gerakan sosial, khususnya isu korupsi, lingkungan dan HAM.

Relevankah teater dan seni budaya dijadikan medium kampanye yang dapat dipakai sebagai motivasi untuk perjuangan gerakan anti korupsi khususnya, dan penyadaran politik masyarakat pada umumnya? Disini dapat diperdebatkan bagaimana efektivitas kegiatan seni budaya, khususnya seni peran (teater) sebagai media informasi dan komunikasi publik, sekaligus sebagai media pendidikan; serta seberapa jauh peran yang dapat diambil oleh para pegiat seni budaya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, dalam konteks ini khususnya menggagas inisiatif kesadaran dan perlawanan rakyat menghadapi korupsi yang mengakar dalam birokrasi.


TUJUAN

  1. Menggiatkan ekspresi budaya yang berorientasi dan berpihak kepada rakyat yang menjadi korban tindakan korupsi, pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan.
  2. Mengolah ruang-ruang seni budaya menjadi wadah dan sarana kampanye publik, khususnya isu-isu korupsi, HAM dan lingkungan.



HASIL YANG DIHARAPKAN

  1. Publik menjadi lebih paham tentang korupsi dan masalah yang ditimbulkannya termasuk pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan, sehingga muncul kesadaran untuk semakin terlibat dalam memerangi korupsi.
  2. Meluasnya komunitas seni budaya yang bekerja di ranah gerakan anti korupsi.
  3. Terjadinya proses pembelajaran bersama dalam rangka mengembangkan gagasan-gagasan kreatif dan inovatif untuk kampanye publik.


DAMPAK YANG DIHARAPKAN

  1. Maraknya kembalinya kebudayaan Sunda, khususnya yang berbasis seni teater dengan membangun komunitas-komunitas budaya berbasis jaringan kerja lokal.
  2. Ada wacana budaya yang mengangkat tema-tema sosial, khususnya korupsi, lingkungan, dan HAM melalui pemberitaan media dan feature-feature di media massa baik cetak maupun elektronik.


WAKTU DAN TEMPAT
Gedung Indonesia Menggugat � Bandung
Tanggal 22 Mei 2008
Pukul 10.00 � selesai


PEMBICARA
1. Dede Yusuf
2. Ucok Homicides
3. Acep Iwan Saidi
4. Sely Martini


MODERATOR
Aan dan Hawe Setiawan

PESERTA
Diskusi ini terbuka dan untuk umum


PENYELENGGARA
Kegiatan diskusi publik ini merupakan bagian dari pementasan Teater Sandekala yang merupakan kerja kolaborasi beberapa organisasi yaitu Indonesia Corruption Watch, Mainteater Bandung, Perkumpulan Seni Indonesia, Walhi, ELSAM, INFID, Perkumpulan Praxis, Voice of Human Rights, Forum Diskusi Wartawan Bandung, Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat � Bandung.
no image
Oleh : Cecep Burdansyah

"Sandekala" akan gentayangan di Gedung Kesenian Rumentang Siang, Jalan Baranang Siang no 1 Bandung, selama tiga hari, Kamis (22/5) sampai Sabtu (24/5). "Sandekala" merupakan novel karya sastrawan Sunda Godi Suwarna yang dianugrahi hadiah sastra Sunda Rancage oleh Ajip Rosidi tahun ini.

Wawan Sofwan, aktor yang sudah sering melanglangbuangana membawakan lakon-lakon bernuansa lokal Sunda, akan memvisualkan Sandekala dalam bentuk teater selama tiga hari di Gedung Kesenian Rumentang Siang, yakni Kamis (22/5), Jumat (23/5) dan Sabtu (24/5). Tak tanggung-tanggung, dalam satu hari akan dipentaskan dua kali, yakni pukul 13.00 dan 20.00.

Wawan Sofwan sendiri merupakan aktor handal yang sudah sering keliling luar negeri, terutama Eropa dan Australia untuk mementaskan teater bernuansa Sunda. Ia antara lain pernah keliling Eropa mementaskan monolog dengan naskah carpon Sunda karya Hadi AKS, "Oknum".

Pementas teater Sandekala ini juga akan diawali dengan diskusi yang digelar Gedung Indonesia Menggugat, Jalan Perintis Kemerdekaan, Bandung Kamis (22/5) pukul 10.00. Diskusi novel Sandekala akan menghadirkan pembicara antara lain Wakil Gubernur terpilih Dede Yusuf, Tisna Sanjaya, Acep Iwan Saidi, Danang Widoyoko/Chalid Muhammad dengan pembicara Hawe Setiawan.

Pentas Sandekala ini untuk memperingati 10 tahun reformasi dan 100 tahun kebangkitan nasional. Menurut koordinator acara, Zhu Khie, pentas Sandekala merupakan persembahan kerja sama antara Mainteater, Indonesian Corruption Watch (ICW) dan wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jabar, Yayasan Tifa dan Perkumpulan Seni Indonesia.

Zhu Kie menjelaskan, pementasan itu merupakan kampanye isu anti korupsi, lingkungan dan hak asasi manusia (HAM). Sandekala sendiri merupakan novel yang mengisahkan peristiwa hari-hari tumbangnya kekuasaan Orde Baru yang diwarnai dengan pelanggaran hak asasi manusia, di mana korbannya antara lain mahasiswa.


Sumber: http://www.tribunjabar.co.id/artikel_view.php?id=9490&kategori=7


Selaku penyelenggara bersama, yang terdiri dari Indonesian Corruption Watch, Mainteater Bandung, Perkumpulan Seni Indonesia, dan Walhi, kami bermaksud untuk mementaskan teater �Sandekala�, adaptasi novel karya Godi Suwarna yang mendapatkan penghargaan Rancage tahun 2008. Pementasan ini merupakan kampanye isu anti korupsi, lingkungan dan HAM serta peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional dan 10 tahun Reformasi.

Untuk memperkuat wacana tema pementasan, kami juga akan mengadakan diskusi publik dengan tema �Relevansi Seni Budaya dalam Gerakan Sosial�. Oleh karena itu kami bermaksud mengundang Bapak/Ibu/Saudara/Saudari untuk terlibat dalam diskusi tersebut sebagai peserta yang akan dilaksanakan pada:

Hari/tanggal: Kamis, 22 Mei 2008
Waktu: Pukul 10.00 - selesai
Tempat: Gedung Indonesia Menggugat, Jl. Perintis Kemerdekaan, Bandung
Pembicara: Dede Yusuf, Ucok Homicides, Acep Iwan Saidi, Danang Widoyoko
Moderator: Sulhan Syafe�ii dan Hawe Setiawan

Besar harapan kami Bapak/Ibu/Saudara/Saudari dapat hadir dalam diskusi tersebut. Atas kerjasamanya yang baik kami ucapkan terima kasih.

Acara akan dilanjutkan setelah makan siang dengan konferensi pers pementasan.



Akhirnya materi publikasi sudah berbentuk setelah sekian lama mendekam dalam ide-ide yang dituangkan di kepala dan komputer. Cantik dan brilian! Terima kasih kepada Asih yang sudah bersusah payah. Bravo!
Catatan: Logo belum diperbaiki jadi tampilan akan beda dengan versi cetaknya. Maaf apabila ada yang terlewatkan.
no image
6 Mei 2008 - 18:45 WIB - Hervin Saputra

VHRmedia.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi didesak lebih serius menyelidiki kasus-kasus korupsi yang berhubungan dengan masalah lingkungan. Potensi sumber daya alam menjadi sasaran utama korupsi di Indonesia.

Hal itu dinyatakan mantan Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Chalid Muhamad dalam acara serah terima jabatan dengan Berry Nahdian Forqan, Direktur Eksekutif Walhi periode 2005-2008, Selasa (6/5).

Chalid mendesak KPK mendalami penyelidikan korupsi bidang lingkungan pada pembuat peraturan, tidak hanya mencermati kasus per kasus. "Lihat policy-nya. Jangan kasus per kasus. Lihat kepentingan yang ada di belakang pembuatan peraturan lingkungan," katanya.

Dia mencontohkan, penegak hukum lamban merespons pengakuan anggota DPR di Mahkamah Konstitusi soal isu suap terkait uji materi Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2004 tentang izin operasi 13 perusahaan tambang di wilayah hutan lindung.

Menurut Chalid, korupsi sumber daya alam terjadi sejak awal kepemimpinan presiden Soeharto. Namun, respons pemberantasan korupsi di bidang ini baru bergeliat beberapa waktu terakhir. Dia mensinyalir, lambannya respons tersebut karena KPK terlalu berhati-hati memberantas korupsi sumber daya alam skala besar hingga tahap pembuatan peraturan. "KPK masih agak berhati-hati," ujarnya.

Chalid mengusulkan KPK menyelidiki korupsi bidang lingkungan hingga pusat kekuasaan, karena di pusat kekuasaanlah peraturan terkait sumber daya alam diproses. "Tidak akan terjadi apa-apa kalau penyelidikan sampai jantung kekuasaan. Negara tidak akan hancur," katanya.

Beberapa dugaan korupsi yang diungkap KPK beberapa waktu terakhir ini berkaitan dengan lingkungan hidup. Di antaranya dugaan korupsi Rp 3 triliun oleh anggota DPR Al Amin Nur Nasution terkait alih fungsi lahan hutan lindung di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau.

KPK juga menetapkan Sarjan Taher, anggota DPR Fraksi Partai Demokrat, sebagai tersangka korupsi alih fungsi hutan bakau menjadi Pelabuhan Tanjung Siapi-api di Provinsi Sumatera Selatan. (E1)

�2008 VHRmedia.com