ren
Suara gergaji mesin memekakan telinga. Beberapa menit kemudian, pohon-pohon bertumbangan. Dengan izin yang dimiliki, petugas kecamatan meminta pohon yang masih berdiri, dirobohkan. Maklum, dia berencana akan membuat rumah. ''Lumayanlah, tidak perlu mengeluarkan uang untuk beli kayu,'' pikirnya.
Melihat niat atasannya, petugas kecamatan yang lain pun mengikuti jejaknya. Ia meminta pohon yang melindungi tempat keramat itu dibabat habis. Surat izin itu dikeluarkan oleh camat yang dicurigai selalu korup dan memerintah dengan tangan besi. Dalam pikirannya hanya ada satu kata 'proyek', dan berkolusi dengan kontraktor pembangunan gedung olah raga, pasar dan lainnya.
Sang camat menyetujui penyelenggaraan pasar malam di alun-alun kota, padahal tempat tersebut dekat sekali dengan masjid agung, sekolah, dan rumah sakit. Namun, suatu hari, ada kuwu yang dimarahi habis-habisan karena melaporkan wabah demam berdarah kepada wartawan sehingga camat tersebut ditegur bupati.
Lama-kelamaan terjadilah krisis kepercayaan dari masyarakat kepada camat. Masyarakat pun merasa gerah dan kian berani mengajukan protes atas tindak tanduk camat. Alih-alih ditanggapi, protes itu berbuntut dengan penculikan terhadap tokoh-tokoh masyarakat yang dinilai sangat vokal.
Seorang putri camat yang kebetulan mahasiswa, pro pada para penentang ayahnya. Dia selalu membocorkan rapat-rapat musyawarah pimpinan kecamatan (muspika) kepada teman-temannya. Karena itu, penculikan dalam jumlah besar bisa dihindari. Para pemimpin demonstran bersembunyi di tempat keramat dan menyusun kembali strategi untuk demonstrasi yang akan melibatkan banyak elemen.
Esok harinya Kota Kawali dibanjiri demonstran. Unjuk rasa pun tidak terkendali. Kantor polisi dibakar, koramil dimusnahkan, pasar diserbu dan dijarah. Kawali luluh lantak.
Setelah diselidiki ternyata ada sekelompok orang yang sangat brutal. Padahal, kelompok itu bukan berasal dari daerah tersebut. Bupati sebagai atasan camat langsung menurunkan petugas. Para pimpinan demonstran dicari dan dikejar. Mereka lari dan sembunyi di tempat keramat. Saat Subuh, melalui serangan fajar, para demonstran yang sembunyi dimusnahkan.
Cerita Sandekala yang dipentaskan di Gedung Kesenian Rumentang Siang, Jumat (23/5) ini tak hanya menyajikan panggung sandiwara. Pementasan ini menampilkan juga potret kehidupan di Indonesia yang begitu mengagungkan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Dalam cerita ini diperlihatkan, begitu berkuasanya nafsu manusia. KKN di tingkat kecamatan saja bisa membuat nyawa melayang.
Di beberapa bagian, Sandekala mengembalikan memori penonton pada kejadian Mei 1998. Terlebih, saat potongan video tragedi Semanggi dijadikan latar dalam pementasan tersebut. Bagaimana mahasiswa yang berteriak menyuarakan keinginan rakyat dihadiahi peluru.
Kesan perjuangan sekelompok orang yang heroik begitu kental dalam cerita yang dipentaskan dengan durasi sekitar 2,5 jam. Untuk ukuran teater, durasi panjang akan membuat penonton lelah. Namun, tidak dalam Sandekala yang diangkat dari Novel Godi Suwarna dengan judul yang sama.
Sutradara, Wawan Sofwan, dengan apik menyelipkan cerita cinta sang putri camat dengan tokoh pemuda kampung yang merupakan teman kuliahnya. Kisah percintaan sederhana yang dibungkus gerakan tubuh serta dialog yang lucu membuat penonton tertawa terbahak-bahak.
Begitupun penempatan seorang putri cantik penghuni tempat keramat. Meskipun tema ceritanya terpisah, namun kehadiran putri bersama sejarah yang dibawanya yakni cerita Diah Pitaloka, membuat pementasan tidak menjemukan. Bahkan, kalau diperhatikan secara seksama, setting panggung mewakili tempat yang berarti besar dalam sejarah Sunda yakni Prasasti Kawali dan cerita Putri Diah Pitaloka. Dalam sejarah Sunda, prasasti Kawali merupakan cikal bakal dari Padjajaran.
Pementasan Sandekala, merupakan kebahagiaan tersendiri buat Wawan Sofwan. Karena sejak lama ia memimpikan menggarap teater bertemakan korupsi. Ada beberapa novel yang dibidik Wawan yakni Korupsi karya Pramudya Ananta Toer dan Ladang Perminus karya Ramadhan KH. Namun secara tak sengaja, ia membaca novel berbahasa sunda berjudul Sandakela. Pilihan pun jatuh ke Sandekala.
http://www.republika.co.id/jurnalhaji/detail.asp?id=335863&kat_id=89
Suara gergaji mesin memekakan telinga. Beberapa menit kemudian, pohon-pohon bertumbangan. Dengan izin yang dimiliki, petugas kecamatan meminta pohon yang masih berdiri, dirobohkan. Maklum, dia berencana akan membuat rumah. ''Lumayanlah, tidak perlu mengeluarkan uang untuk beli kayu,'' pikirnya.
Melihat niat atasannya, petugas kecamatan yang lain pun mengikuti jejaknya. Ia meminta pohon yang melindungi tempat keramat itu dibabat habis. Surat izin itu dikeluarkan oleh camat yang dicurigai selalu korup dan memerintah dengan tangan besi. Dalam pikirannya hanya ada satu kata 'proyek', dan berkolusi dengan kontraktor pembangunan gedung olah raga, pasar dan lainnya.
Sang camat menyetujui penyelenggaraan pasar malam di alun-alun kota, padahal tempat tersebut dekat sekali dengan masjid agung, sekolah, dan rumah sakit. Namun, suatu hari, ada kuwu yang dimarahi habis-habisan karena melaporkan wabah demam berdarah kepada wartawan sehingga camat tersebut ditegur bupati.
Lama-kelamaan terjadilah krisis kepercayaan dari masyarakat kepada camat. Masyarakat pun merasa gerah dan kian berani mengajukan protes atas tindak tanduk camat. Alih-alih ditanggapi, protes itu berbuntut dengan penculikan terhadap tokoh-tokoh masyarakat yang dinilai sangat vokal.
Seorang putri camat yang kebetulan mahasiswa, pro pada para penentang ayahnya. Dia selalu membocorkan rapat-rapat musyawarah pimpinan kecamatan (muspika) kepada teman-temannya. Karena itu, penculikan dalam jumlah besar bisa dihindari. Para pemimpin demonstran bersembunyi di tempat keramat dan menyusun kembali strategi untuk demonstrasi yang akan melibatkan banyak elemen.
Esok harinya Kota Kawali dibanjiri demonstran. Unjuk rasa pun tidak terkendali. Kantor polisi dibakar, koramil dimusnahkan, pasar diserbu dan dijarah. Kawali luluh lantak.
Setelah diselidiki ternyata ada sekelompok orang yang sangat brutal. Padahal, kelompok itu bukan berasal dari daerah tersebut. Bupati sebagai atasan camat langsung menurunkan petugas. Para pimpinan demonstran dicari dan dikejar. Mereka lari dan sembunyi di tempat keramat. Saat Subuh, melalui serangan fajar, para demonstran yang sembunyi dimusnahkan.
Cerita Sandekala yang dipentaskan di Gedung Kesenian Rumentang Siang, Jumat (23/5) ini tak hanya menyajikan panggung sandiwara. Pementasan ini menampilkan juga potret kehidupan di Indonesia yang begitu mengagungkan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Dalam cerita ini diperlihatkan, begitu berkuasanya nafsu manusia. KKN di tingkat kecamatan saja bisa membuat nyawa melayang.
Di beberapa bagian, Sandekala mengembalikan memori penonton pada kejadian Mei 1998. Terlebih, saat potongan video tragedi Semanggi dijadikan latar dalam pementasan tersebut. Bagaimana mahasiswa yang berteriak menyuarakan keinginan rakyat dihadiahi peluru.
Kesan perjuangan sekelompok orang yang heroik begitu kental dalam cerita yang dipentaskan dengan durasi sekitar 2,5 jam. Untuk ukuran teater, durasi panjang akan membuat penonton lelah. Namun, tidak dalam Sandekala yang diangkat dari Novel Godi Suwarna dengan judul yang sama.
Sutradara, Wawan Sofwan, dengan apik menyelipkan cerita cinta sang putri camat dengan tokoh pemuda kampung yang merupakan teman kuliahnya. Kisah percintaan sederhana yang dibungkus gerakan tubuh serta dialog yang lucu membuat penonton tertawa terbahak-bahak.
Begitupun penempatan seorang putri cantik penghuni tempat keramat. Meskipun tema ceritanya terpisah, namun kehadiran putri bersama sejarah yang dibawanya yakni cerita Diah Pitaloka, membuat pementasan tidak menjemukan. Bahkan, kalau diperhatikan secara seksama, setting panggung mewakili tempat yang berarti besar dalam sejarah Sunda yakni Prasasti Kawali dan cerita Putri Diah Pitaloka. Dalam sejarah Sunda, prasasti Kawali merupakan cikal bakal dari Padjajaran.
Pementasan Sandekala, merupakan kebahagiaan tersendiri buat Wawan Sofwan. Karena sejak lama ia memimpikan menggarap teater bertemakan korupsi. Ada beberapa novel yang dibidik Wawan yakni Korupsi karya Pramudya Ananta Toer dan Ladang Perminus karya Ramadhan KH. Namun secara tak sengaja, ia membaca novel berbahasa sunda berjudul Sandakela. Pilihan pun jatuh ke Sandekala.
http://www.republika.co.id/jurnalhaji/detail.asp?id=335863&kat_id=89