March 2008


Foto: Dudi Sugandi/"PR"/ Sumber Pikiran Rakyat, Minggu, 01 Juli 2007

Hareupeun kelir: Kalangkang-kalangkang wayang/ kalangkang usik-usikan, kalangkang diobah-obah/ Ieu reundeuk reujeung igel, ieu tincak reujeung ketak/ pulang-anting, pulang-anting lebah dunya hideung bodas/ Dongeng naon nu rek midang? Dalang kawasa!/ Aya raga nu tumamprak sanggeus campala noroktok/ Sabot nungguan balebat, duh peuting ngajak ngalinjing/ Renghap ranjug, renghap ranjug samemeh ajal ngolebat

PUISI di atas ditulis oleh penyair Godi Suwarna, penyair Sunda saat ini yang karya-karyanya tidak hanya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, tetapi juga ke dalam bahasa Inggris dan Prancis. Selain dikenal sebagai penyair, Godi dikenal pula sebagai novelis dan juga cerpenis yang tangguh. Sejumlah karya yang ditulisnya dalam bahasa Sunda dinilai banyak kalangan kritikus sastra Sunda menghembuskan angin segar.

Dalam percakapannya dengan "PR" dalam berbagai kesempatan, Godi mengatakan bahwa ia termasuk orang yang menyukai tembang Sunda cianjuran. "Tembang Sunda cianjuran, ya! Saya suka dengan lantunan tembang tersebut yang dibawakan oleh Ceu Euis Komariah dan Kang Dadang Sulaeman, almarhum. Kaset-kasetnya sering saya pinjam tanpa permisi dari koleksi Pak Popo yang sangat lengkap, dan tak pernah dikembalikan! Hehehe...Urang Sunda mah kudu ceurik mun ngadengekeun cianjuran, kata Kang Rustandi. Nah, kalau itu mah saya setuju! Malah, kalau ingin nyegruk abis mah gencet saja sekalian ibu jari sama meja! Hahaha...," ujar Godi sambil tertawa ngakak, yang setiap bersua saya panggil dirinya sebagai Kangjeng Adipati Galuh.

Selain tembang Sunda cianjuran, Godi suka pula mengapresiasi kawih-kawih Mang Koko. "Saat di SD, kami sekeluarga selalu nongkrong di depan radio setiap Jumat sore, untuk mendengarkan acara Mang Koko. Saat itu, kawih-kawih Mang Koko memang digemari masyarakat, bahkan sampai ke kampung-kampung. Ada beberapa lagu yang rumpaka-nya dibuat oleh para penyair Sunda. Antara lain dibuat oleh Kang Dedy Windyagiri dengan Sariak Layung-nya. Sampai sekarang, saya masih hapal dan bisa menyanyikan beberapa kawih Mang Koko.

Mungkin tembang dan kawih ada pengaruhnya pada karya-karya saya. Kang Dodong Djiwapradja pernah berkata bahwa puisi-puisi dalam kumpulan puisi Jagat Alit banyak terpengaruh oleh rumpaka tembang. Sayang, saya tidak tahu persis seperti apa pengaruhnya, karena Kang Dodong urung memaparkannya dalam diskusi yang telah direncanakan saat itu," jelas Godi.

Petikan puisi di atas yang diberi judul "Jagat Alit" dipetik dari kumpulan puisi "Jagat Alit" yang ditulis oleh penyair Godi Suwarna. Di bawah ini kami sajikan petikan percakapan dengan penyair yang mengaku sudah meninggalkan dunia hitam menuju dunia putih. "Karena rambut saya sudah memutih, maka dunia hitam saya tinggalkan," katanya kembali tertawa ngakak.
Apa yang menyebabkan Kang Godi tertarik menulis puisi berbahasa Sunda, yang kemudian disusul dengan menulis cerita pendek dan novel dalam bahasa Sunda?

Tahun 1976, ketika liburan semester di lembur, saya mencoba nulis puisi Sunda, dikirimkan ke majalah Mangle, di antaranya Surat keur Susi di Bandung. Puisi-puisi cikal itu ternyata mendapat tanggapan cukup baik dari sastrawan Sunda senior. Dulu, Kang Usep Romli HM pernah menulis bahwa puisi saya terpengaruh Sutarji. Padahal, sumpah, saya mah lebih merasa "berhati Kang Wahyu Wibisana" nan manis romantis! Hahaha...

Sejak itu, saya deudeuieun nulis puisi Sunda, bukan karena bisa menggaet mojang Bandung yang bernama Susi itu. Hahaha...Bahasa Sunda ternyata lebih bisa menyalurkan perasaan saya dalam bersajak. Banyak kosa kata bahasa Sunda untuk menggambarkan rasa. Coba, cara berjalan saja dalam bahasa Sunda itu sangat bermacam-macam. Ngagandeuang, ngalenghoy, ngagedig dll. Selain itu, saya lebih bisa nabeuh bahasa Sunda ketimbang bahasa Indonesia. Bahasa Sunda itu bisa digalindengkeun dengan banyaknya kemungkinan kalau kita mau murwakanti. Pokoknya nikmat dech!

Saya tertantang untuk terus ngarang cerpen dan novel karena selalu dikritik habis oleh kang Rustandi Kartakusumah, yang katanya selalu a-absurd-an. Begitulah ia selalu mengomentari cerpen-cerpen awal saya. Padahal, dibanding karya beliau yang realis dan kebarat-baratan, justru cerpen sayalah yang paling nyunda di seantero cerpen Sunda. Hahaha...Karena selalu dikritik itu saya malah ngahajakeun ngarang cerpen yang dianggap minculak dalam sastra Sunda, dengan kredo: "Menolak Tradisi Bertolak dari Tradisi". Hag, siah, gagah, yah?

Apakah makna puisi "Jagat Alit" bagi Kang Godi?

Itu puisi kesayangan Kakang, Yi Prabu Sukapura. Itu adalah puisi saya yang paling religius. Hehehe... Puisi itu lahir ketika saya masih ABG, lagi babadeurna!. Pemuda kampung berhati koboy ngumbara di Bandung. Mangprung, dech! Saat itu, saya selalu merasa tidak akan berumur panjang! Kematian paman saya yang masih muda sangat berbekas di hati. Sering mimpi ketemu dia di alam sana. Saya terus ngabarungsinang. Gelisah! "Jagat Alit" mungkin semacam pencerahan, ya? Dijadikan judul buku kumpulan sajak saya yang pertama. Sengaja ditaruh di awal, sebagai pembukaan, semacam fatihahna lah!

Ketika kuliah Kang Godi masuk Jurusan Bahasa Indonesia, di IKIP Bandung. Nah, apakah sastra Indonesia memberikan pengaruh yang demikian besar pada proses kreatif Kang Godi dalam menulis puisi maupun cerita pendek?

Mungkin ada pengaruhnya. Tapi, saya tidak tahu sebesar dan seperti apa pengaruh sastra Indonesia pada proses kreatif saya. Yang jelas, saya memang banyak membaca karya-karya sastra Indonesia sejak masih di SD. Ayah saya kepala SMP di Panawangan, Ciamis. Perpustakaan sekolahnya cukup banyak mengoleksi karya sastra. Saya membaca "Siti Nurbaya," "Salah Asuhan" dll. Tapi, juga gemar membaca cerita silat Kho Ping Ho, semisal serial "Bu Kek Siansu," "Bhu Pun Su," sama khusuknya dengan melahap karya-karya sastra Indonesia. Terpaksa maling-maling karena ayah melarang saya membaca buku-buku seperti itu!

Setelah masuk IKIP, saya sangat terkesan dengan kumpulan cerpen "Godlob," karya Danarto. Luar biasa. Seperti ngabandungan dongeng aheng. Apalagi itu yang berjudul gambar jantung terpanah yang bedarah-darah. Tokohnya Rintrik. Kita diajak masuk ke dunia mimpi yang matak hookeun. Selalu terbayang-bayang latar dan suasananya.

Saya baca berulang-ulang "Priangan Si Jelita." Dikecemel sampai lecek! Kang Ramadhan itu hebat. Beliau menciptakan bahasa Indonesia yang sangat nyunda. Merdu namun bisa juga nyereset di hati. Saya membaca bundel majalah Horison lama dan Budaya Jaya koleksi Pak Popo Iskandar, membaca karya sastra maupun pemikirannya yang berkembang saat itu.
Jadi, pengaruh mungkin bukan saja dari Indonesia yang nyastra, tapi mungkin juga dari cerita silat, cerita ditektip, komik, petualangan dll. Sampai sekarang, kalau membaca saya tidak pernah pilih-pilih yang sastra atau bukan.

Daya dorong apakah yang membuat Kang Godi tetap bersikukuh menulis karya sastra berbahasa Sunda dan bukan karya sastra berbahasa Indonesia?

Saya yang waktu muda selalu merasa sedang sakarat, ternyata berjodoh dengan bahasa Sunda yang juga sering dinyatakan sedang sakarat awal. Nah, siapa tahu nanti saya jadi bujangga terakhir macam Ronggo Warsito itu. Haha...Bahasa Sunda itu, pasti juga bahasa-bahasa ibu lainnya, memiliki bahan yang tidak terbatas untuk diutak-atik menjadi bahasa sastra. Saya terus mencoba menggali berbagai kemungkinan dari kelebihan bahasa Sunda dibanding bahasa Indonesia. Misalnya, memaksimalkan undak usuk basa, atau bahkan mencampur aduknya sekalian. Itu mengasyikan. Akhirnya, saya lebih fasih dan sangat nikmat menulis dalam bahasa Sunda.

Nah, ketika saya membaca puisi di acara-acara pertemuan penyair internasional di Bandung dan Jakarta, ternyata sambutan peserta sangat baik. Menyenangkan bisa membuat penyair-penyair bule itu saregep menyimak sajak Sunda. Ternyata, kita tidak kalah sama sastra lainnya. Tapi ketang, mungkin mereka mah cuma kasima sama penampilan saya yang sed saeutik ti dukun teluh! Hahaha...

Siapakah sastrawan Sunda, Indonesia, dan juga sastrawan Barat maupun Timur yang memberikan pengaruh kepada Kang Godi?

Sejak kecil saya memang mengagumi Kang Wahyu Wibisana. Saat di SD saya membaca carpon beliau yang berjudul "Dehem" sampai ngaceng! Hahaha...Tapi, saya tidak tahu apakah ada pengaruh beliau dalam karya-karya saya. Coba diselidik saja, ya? Yang jelas, setelah saya kenal dekat, beliau sering ngagebrag saya supaya lebih gorejag. Mun geus ancrub kudu daek bobolokot, itu piwuruk beliau. Jadi, pengaruhnya mungkin lebih kepada sikap dalam berkesenian.

Saya tidak tahu siapa sastrawan Indonesia, Barat atau Timur yang mempengaruhi saya. Tapi, saya senang dan berulang-ulang membaca novel "Taman Kate-Kate" karya Maria Dermout, yang lebih aheng ketimbang karya-karya Gabriel Garcia Marquez. Terasa lebih dekat di hati, tidak nun jauh di Amerika Latin sana! Sewaktu muda, pernah mencoba-coba menulis lirik seperti "Tukang Kebun"-nya Rabindranath Tagore. Tapi teu kataekan! Jadinya malah ngagerebeg dalam kumpulan sajak "Blues Kere Lauk." Haha... (Soni Farid Maulana/"PR") ***
no image
www.beritacerbon.com - Teguh Raharjo

BANDUNG : Sastrawan Sunda Godi Suwarna kembali mendapatkan penghargaan sastra tertinggi untuk jenis sastra yang menggunakan bahasa ibu. Godi Suwarna dinobatkan sebagai peraih hadiah Rancage 2008 atas karyanya Sand�kala dengan Sa�ni.

Sand�kala merupakan sebuah roman karya Godi Suwarna yang diterbitkan oleh penerbit Kelir, Bandung. Godi Suwarna akan menerima hadiah piagam dan uang Rp5 juta.

Dengan hadiah ini, Godi menjadi sastrawan Sunda yang pernah meraih tiga kali Hadiah Rancag�, semuanya untuk karya, yaitu tahun 1993 untuk kumpulan sajaknya Blues K�r� Lauk dan tahun 1996 untuk kumpulan cerita p�nd�knya Serat Sarwasatwa.

Godi dalam Sand�kala, menggunakan sebutan orang pertama �uing� (dari �kuring�, digunakan di lingkungan akrab di ped�saan) dan bahasa dial�k Ciamis.

Dengan demikian ada tiga orang sasterawan yang telah mendapat Hadiah Sastera Rancag� tiga kali. Yaitu sasterawan Jawa Suparto Brata, yaitu tahun 2000 (untuk jasa), 2001 (untuk karya kumpulan cerp�n Tr�m) dan 2005 (untuk karya roman Donyan� Wong Culika). Dan yang seorang lagi ialah sasterawan Bali I Nyoman Manda yang tahun ini mendapat hadiah lagi untuk karya. Sebelumnya dia mendapat hadiah untuk jasa (1998) dan untuk karya (2003).

Penghargaan Rancage 2008 siberikan melalui penilaian terhadap sastra berbahasa Sunda yang terbit selama 2007 sebanyak 32 judul buku. Penilaian tersebut tidak termasuk buku-buku pelajaran berbahasa Sunda.

Ketua Yayasan Rancage Ajip Rosidi mengatakan secara garis besar yang bisa dipertimbangkan untuk mendapat Hadiah Rancag� 2008 terdiri dari 3 kumpulan sajak, 6 roman, 4 kumpulan cerita p�nd�k dan 3 uraian tentang pengalaman di kampung, pengalaman naik haji dan utaian tentang pentingnya memelihara hutan.

Seperti yang sudah ditetapkan, buku cetak ulang, kumpulan karya bersama dan karya Ajip Rosidi tidak dinilai untuk mendapat hadiah Rancag�.

�Ada hal yang menarik dalam karya-karya fiksi yang terbit tahun 2007 itu, terutama karya Hadi AKS, Itto Margawaluya dan Godi Suwarna yaitu bahwa mer�ka seperti bersepakat menuliskan kehidupan da�rah asalnya dengan mempergunakan bahasa lokal pula,� katanya. (BC-111)
no image
GODI SUWARNA, penulis novel

Lahir di Tasik, menetap di Ciamis. Mulai mengarang puisi dan prosa dalam bahasa Sunda sejak tahun 1976 sampai sekarang. Sajak, cerpen, dan naskah novelnya telah memenangkan beberapa kali penghargaan karya sastra dari LBSS, Hadiah Sastra Rancage, Hadiah Sastra DK Ardiwinata, dan Hadiah Sastra Oeton Moechtar. Selain mengarang, juga suka bermain drama sejak kecil. Saat kuliah mendirikan Teater IKP Bandung. Bermain di Studiklub Teater Bandung, mengikuti Utan Kayu International Literary Bienale, dan International Poetry Festival Indonesia. Sejak tahun 1998 mengagagas acara nyiar lumar, berupa pergelaran kesenian semalam suntuk di Hutan Keramat, Astana Gede, Kawali, peninggalan Kerajaan Galuh.


WAWAN SOFWAN, sutradara

Lahir di Panjalu, 17 Oktober 1965. Lulusan Jurusan Pendidikan Kimia IKIP Bandung (kini Universitas Pendidikan Indonesia) mulai aktif di dunia teater tahun 1985 di Teater IKIP Bandung, kemudian di STB sejak tahun 1988. Pentas dalam lakon-lakon antara lain: Impian di Tengah Musin, Don Carlos, Tembok Besar, Julius Caesar, dll. 1994 mendirikan mainteaterbandung. 1999-2000 berpartisipasi dalam berbagai festival di Melbourne dan forum Internasional pekerja teater dan workshop Commedia del Arte di Berlin (2000). Sejak tahun 1999 menyutradarai: Art, Disco Pigs, God is a Dj, Faust I, Opera La Boheme, Saudagar Venesia, Musical HONK, musical �Marry Did You Know�, Fashion Performance, Opera �Mozart�, Kehidupan di Teater, dan Nyai Ontosoroh.

Monolog-monolognya (Dam, Oknum, Zarathustra, Fragmen Faust, Happy 1000�1000 Bahagia, Laporan untuk akademi, Indonesia Menggugat,Pidato 1 Juni Bung Karno, Kontrabass) dipentaskan di beberapa kota di Indonesia, Malaysia, Australia, Rusia, Jerman dan Belanda. Mendapat beasiswa dari International Theater Institut Germany untuk magang di kelompok Musical Triebwerk Theater-Hamburg. Dosen tamu di University Malaya-Kuala Lumpur (KL) dan Sutradara Tamu di Sumunda Theater Company-KL. Saat ini aktif sebagai perancang pertunjukan; sutradara teater, musical, opera, dan pengajar akting.
no image
Jumlah penonton yang akan datang selama 2 hari berturut-turut di Bandung (sehari 2 kali pentas) tidak kurang dari 1.600 penonton sedangkan di Jakarta 1.500 penonton (3 kali pentas). Mereka berasal dari kalangan pelajar SMA, mahasiswa, kaum muda, para politisi, kelompok professional, anggota DPR, dan masyarakat umum lainnya termasuk komunitas Sunda di Jakarta dan sekitarnya. Selain penonton yang datang langsung, kami menargetkan pertunjukan ini bisa diulas di berbagai media cetak maupun elektronik.

Sebagai medium kampanye, kami akan mengundang beberapa SMA yang potensial untuk bekerjasama dalam kampanye ini. Tema anti korupsi, lingkungan dan pelanggaran HAM sebetulnya merupakan wacana sehari-hari yang sering dimuat dalam media, namun kami mengambil bentuk lain agar ada pendekatan tersendiri yang (mungkin) lebih efektif. Kenapa tidak?

Pementasan tidak hanya berakhir di atas pentas semata, namun akan direkam dalam format VCD/DVD yang selanjutnya diedarkan secara gratis untuk memperluas jangkauan kampanye.

Dukungan dari banyak pihak tentunya akan mempermudah pelaksanaan kampanye ini, tentu dengan berbagai catatan bahwa tidak ada kepentingan yang bertolak belakang dengan tema yang digulirkan. Semakin banyak dukungan akan membuat pementasan ini semakin mudah diakses kelompok yang selama ini jarang bersinggungan dengan tontonan yang digelar di gedung gedung pertunjukan.

Bagi kami, kampanye seharusnya murah, langsung mengena dan meninggalkan kesan.
no image
Pementasan teater ini berkisah tentang seorang Camat yang korup yang memerintah dengan tangan besi. Ada kuwu yang dimarahi habis-habisan karena melaporkan wabah demam berdarah kepada wartawan sehingga Camat tersebut ditegur oleh Bupati. Melakukan kolusi dengan kontraktor pembangunan gedung olah raga, pasar, dan lain-lain. Sang Camat menyetujui penyelenggaraan pasar malam di alun-alun kota padahal tempat tersebut dekat sekali dengan mesjid agung, sekolah dan rumah sakit. Dan yang paling menyakitkan adalah Camat berani menebang pohon dari tempat keramat yang selama ini sangat dilindungi oleh masyarakat. Mulailah terjadi krisis kepercayaan yang membuat masyarakat mulai gerah. Masyarakat kian berani mengajukan protes atas tindak tanduk Camat tersebut namun protes itu tak ditanggapi. Malahan salah satu tokoh masyarakat yang sangat vokal, diculik.

Seorang putri camat, yang kebetulan mahasiswa, pro pada para penentang ayahnya. Dia yang selalu membocorkan rapat-rapat muspika di rumahnya kepada teman-temannya sehingga penculikan yang lebih banyak bisa dihindari. Para pimpinan demostran bersembunyi di sebuah tempat keramat dan menyusun kembali strategi untuk demonstrasi yang akan melibatkan banyak elemen. Esok harinya di kota Kawali terjadi demonstrasi besar besaran. Awalnya unjuk rasa terkendali tapi tiba-tiba jadi tidak terkontrol dan cenderung anarkis: kantor polisi dibakar, koramil dimusnahkan, pasar diserbu dan dijarah, kantor camat dihancurkan. Kota Kawali luluh lantak.

Setelah diselidiki ternyata ada sekelompok orang yang sangat brutal, padahal kelompok tersebut bukan berasal dari daerah itu. Bupati sebagai atasan Camat langsung menurunkan petugas. Para pimpinan demonstran dicari dan dikejar. Mereka lari dan sembunyi di tempat keramat. Saat Subuh, melalui serangan fajar, para demonstran yang sembunyi tersebut dibinasakan.
no image
Kegiatan ini akan dikemas dalam sebuah rangkaian kegiatan yang meliputi pementasan dan diskusi publik. Berikut penjelasan secara rinci masing-masing kegiatan;

a. Pementasan teater Sandekala
Lokasi pementasan teater Sandekala selain di Bandung dengan menggunakan Bahasa Sunda juga akan dilakukan di Jakarta dengan menggunakan Bahasa Sunda dan Indonesia.

b. Diskusi Publik
Agar pementasan Sandekala tidak hanya mengedepankan estetika semata, maka serangkaian kegiatan juga menggelar diskusi-dikusi publik. Ada dua diskusi publik yang akan dilaksanakan dengan tema diskusi sebagai berikut:

Relevansi seni budaya dalam gerakan anti korupsi. Relevankah teater dijadikan medium kampanye yang dapat dipakai sebagai motivasi untuk perjuangan gerakan anti korupsi khususnya, dan penyadaran politik masyarakat pada umumnya? Disini dapat diperdebatkan bagaimana efektivitas kegiatan seni budaya, khususnya seni peran (teater) sebagai media informasi dan komunikasi publik, sekaligus sebagai media pendidikan; serta seberapa jauh peran yang dapat diambil oleh para pegiat seni budaya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, dalam konteks ini khususnya menggagas inisiatif kesadaran dan perlawanan rakyat menghadapi korupsi yang mengakar dalam birokrasi.

Refleksi 10 Tahun Reformasi: Korupsi Sebagai Akar. Diskusi ini akan memperbincangkan pembelajaran 10 tahun terakhir perang melawan korupsi. Banyak kasus yang sudah diproses oleh penegak hukum, namun tak sedikit juga yang masih terlewatkan begitu saja. Alih-alih memberi efek jera dari jatuhnya hukuman, ternyata masalah korupsi tidak juga terselesaikan, bahkan korupsi semakin merajalela dari atas hingga ke pelosok desa. Bagaimana pegiat anti korupsi menyikapi persoalan ini dan strategi apa yang dirasa tepat untuk diterapkan dalam penyelesaian masalah korupsi.

no image
Pada satu sisi, pementasan teater memiliki fungsi sebagai cermin dari sebuah situasi masyarakat di mana teater itu tinggal. Dalam setiap pementasannya, setiap orang akan bercermin pada apa yang telah, sedang dan akan terjadi. Dengan begitu maka teater tidak akan kehilangan daya kritisnya dalam menanggapi kondisi zamannya.

Untuk memenuhi fungsi di atas maka pemilihan naskah sangat menentukan. Ada berbagai macam naskah teater, mulai yang klasik para pengarang luar negeri dan dalam negeri mulai yang klasik sampai modern. Tapi kadang naskah tersebut sudah ketinggalan zaman. Atau kalaupun dipentaskan mesti melalui sebuah penafsiran. Ada kesan dipaksakan supaya tetap kontekstual.

Maka diperlukan berbagai macam upaya dalam mengadakan naskah teater tersebut. Salah satu diantaranya adalah mengadaptasi dari sebuah novel.

Kami dalam pementasan ini mengambil sebuah novel berbahasa Sunda Sandekala (Sandyakala), karya Godi Suwarna.

Ada beberapa alasan mengapa kami mengambil novel ini sebagai bahan untuk adaptasi, yaitu:
  • Novel ini mengambil setting peristiwa Mei 1998. Sebuah peristiwa yang sulit dilupakan oleh rakyat Indonesia: demonstrasi besar-besaran. Tumbangnya kekuasaaan orde baru, lengsernya Soeharto dan pergantian presiden yang 30 tahun lebih tak pernah terjadi. Peristiwa yang sangat mengharubirukan anak bangsa.
  • Meskipun setting peristiwa di sebuah kota kecamatan yang jauh dari pusat kekuasaan, tapi di situ tergambarkan bahwa apa yang terjadi saat itu di Jakarta ,mengimbas juga ke daerah-daerah.
  • Novel ini telah memenangkan lomba sastra daeng kanduruan Ardiwinata penulisan novel oleh Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda 1998 dan Hadiah Sastra Rancage 2008. Dengan begitu kualitas novel ini tidak diragukan lagi.
no image
Korupsi. Sebuah perbendaharaan kata yang tak asing bagi Indonesia. Sebuah kata yang cukup menyengat telinga kita dalam kehidupan sehari-hari dan sering ditemukan di ruang privat dan publik kita.

Sejak reformasi 1998, penyakit ini semakin membahana di seluruh Indonesia dan menjadi sorotan dunia internasional. Demonstrasi yang mendengungkan tuntutan terhadap penyelesaian kasus ini sudah tak lagi terhitung mulai dari depan balai desa hingga depan Istana Negara. Penyakit ini sungguh kronis dan mewabah ke banyak kalangan, bahkan melindas kelompok yang sesungguhnya menjadi garda terdepan negara dalam penyelesaian kasus-kasus korupsi.

Lebih jauh lagi, korupsi tidak pernah berdiri sendiri. korupsi di negara ini seringkali bukan sekedar menjadi dampak dari kontrol birokrasi yang lemah, melainkan sebagai akar masalah. Berbagai tragedi politik dan pelanggaran hak asasi manusia terjadi berawal dari sebuah kasus korupsi. Rezim Soeharto misalnya, mempertahankan kekuasaan yang korup dengan berbagai cara, termasuk melanggar hak-hak dasar warga negara, diantaranya agar kepentingan ekonomi dan politik rezim terjaga. Yang terjadi kemudian di Indonesia bukan sekedar aplikasi dari pemeo �power tends to corrupt� melainkan �corrupt to get and maintain power�.

Sudah 10 tahun reformasi bergulir. Sudah banyak nyawa yang hilang diterjang peluru, bahkan beberapa yang diculik tak pernah kembali. Darah sudah membasahi negeri ini bersama air mata orang-orang yang ditinggal pergi para pejuang reformasi. Adakah perubahan?

Dalam pementasan ini kami menggunakan bahasa Sunda, selain bahasa Indonesia, sebagai upaya menghidupkan kembali budaya lokal yang selama ini dipinggirkan. Naskah Sandekala ini merupakan adaptasi dari novel yang ditulis oleh Godi Suwarna. Sebuah sindiran tajam yang memindahkan peristiwa 1998 dengan korupsi sebagai akar masalah ke dalam sebuah kota kecil, Kawali. Novel yang ditulis asli dalam Bahasa Sunda itu memperoleh penghargaan sastra Rancage 2008.
no image
From the long white hair to the sarong-style trousers and leather sandals from the West Java town of Garut, everything about Godi Suwarna says �artist�.But the Sundanese writer does not care what people think. He believes in his choice to become an artist, a decision many people find hard to accept.

In a writing career spanning more than three decades, perhaps Godi�s greatest achievement has been winning the Rancage Literary Award three times.

He received the prize most recently earlier this year for his novel Sandekala, which deals with the reform movement. To launch his social criticism of the reform movement in his village, he drew a lot of inspiration from the Pandawa characters in the epic Mahabharata.

His other winning works were an anthology of poems, Blues Kere Lauk, in 1993 and a collection of short stories, Serat Serasatwa, in 1996.

Most of Godi�s work is written in Sundanese, although as a student he often wrote in Indonesian, including some stories published in the Sunday edition of Kompas.

�Writing in Sundanese is really satisfying for me,� he says. �It has a much richer vocabulary for feelings than Indonesian does. For a writer, the vocabulary is like your ammunition store.�

But then, traditional Sundanese art and culture are in his blood.

Born on May 23, 1956, Godi spent his childhood in the hamlet of Cirikip, in Panawangan, Ciamis, more than 150 kilometers east of Bandung.

His parents were both junior high school teachers, his father of drawing and his mother vocational skills.

His mother is also a singer of traditional songs from Cianjur, while his father plays kecapi, a traditional Sundanese string instrument.

Growing up on a diet of Sundanese songs, Godi liked reading Sundanese stories and literature. His parents, who subscribed to the Sundanese weekly Mangle, also read him bedtime stories as a boy.

His love for Sundanese culture grew stronger when, after 1965, he began listening to poetry set to music on the family�s old radio.

He remembers listening to Mang Koko, who played kecapi and read poems written by Wahyu Wibisana and Dedi Indragiri. The program, broadcast by RRI state radio every Friday evening, appealed to many other local people also.

�It made a big impression on me because the poetry reading was accompanied by the kecapi in a way that deeply touched the soul,� Godi says.

Not a single day during his childhood passed without him experiencing some form of Sundanese arts and culture.

When Godi was in junior high school, his uncle, Mang Dedi, sent him to Kondang Kampong Children community classes in Cinyasag, Ciamis, to hone his acting skills.

He continued his studies at Pasundan high school in Tasikmalaya, a larger town where he could express his youthful artistic feelings by singing rock songs.

�We spent the night singing very loudly at crossroads. But then I began to write poems when I got home,� Godi says.

He wrote dozens of poems in longhand � he still feels �stupid� when it comes to computers � which he has never published.

He later studied Indonesian literature at the Indonesian University of Education in Bandung. There he found a strong literary community that encouraged him to explore his creativity. He performed plays and wrote a lot.

�I sent �Surat keur Susi� (A Letter for Susi) to Mangle and it was published. After that, many Sundanese literary men began to appreciate my work,� Godi says.

The appreciation moved Godi to identify himself as a writer. He published his first anthology of Sundanese poems, Jagat Alit (Small World), in 1978. Godi says he wrote the work after meeting his uncle, who died young, in a dream. His other anthologies of poems are Jaka Tarib (1978) and Surat-surat Kaliwat (1982).

Godi later turned his hand to short stories and published his first collection, Murang Maring, in 1985.

After graduating from university in 1983, he tried teaching, but it clashed with his free soul. He lasted three months as a teacher at a junior high school in Bandung.

�I could not stand the routine in facing the students,� he says. �Fortunately, I was transferred to the art department in the Education Agency.�

Not long afterward, Godi took a break from writing when he became involved in the theater after director Wawan S Husin asked him to join Bandung Theater Study Club.

�I enjoyed being on stage � and between 1985 and 1990 I hardly wrote anything,� he says.

Finally he decided to return to the literary world and moved to his parents� house in Panawangan, Ciamis, in 1990.

In his hometown he started to write again and developed Sundanese theater there, especially after he married a dancer in 1991. He has four children, Denisa, 28, Rengganis, 24, Galia, 15, and Welas, 5.

�I feel I became more productive after moving to Ciamis,� he says.

For Godi, money is not important.

�As Acep Zamzam Noor (a young Sundanese artist) puts it, it is not the Sundanese literature that feeds me, but me who feeds the literature. I am a civil servant, so I can survive if I lead a modest lifestyle,� he says, laughing.

He donates the fees he received from publishing his works � he says he receives Rp 50,000 for poems and Rp 100,000 for short stories � to Sundanese publications, Mangle, Cupumanik and Galura.

�If you publish a book, you can cover the production costs, but it�s hard to get rich,� he says.

In Ciamis he has advanced many ideas for preserving Sundanese arts and culture. Every year since 1998, he has organized Nyiar Lumar, a night-long talent show. The shows are held in Astana Gede Kawali, Ciamis, the jungle that was once the site of the Galuh Kingdom, and features Sundanese dances, poems and plays.

Unfortunately, the local youth do not seem to share his love of traditional arts and culture.

Most of them, he says, forget about Sundanese arts and culture when they move to a big city to study.

�After studying in the city, they don�t explore their talent because the situation is different. They have so many choices. Some may continue to pursue it, but only very few,� he says.

This does not deter Godi from his passion for preserving Sundanese art. Instead, he feels challenged to guard his traditional heritage and is determined to work even harder to encourage young people to be proud of their Sundanese traditions.

�Yuli Tri Suwarni , The Jakarta Post


Sumber: http://www.thejakartapost.com/news/2008/03/17/godi-suwarna-loyal-guard-sundanese-heritage.html