Hareupeun kelir: Kalangkang-kalangkang wayang/ kalangkang usik-usikan, kalangkang diobah-obah/ Ieu reundeuk reujeung igel, ieu tincak reujeung ketak/ pulang-anting, pulang-anting lebah dunya hideung bodas/ Dongeng naon nu rek midang? Dalang kawasa!/ Aya raga nu tumamprak sanggeus campala noroktok/ Sabot nungguan balebat, duh peuting ngajak ngalinjing/ Renghap ranjug, renghap ranjug samemeh ajal ngolebat
Dalam percakapannya dengan "PR" dalam berbagai kesempatan, Godi mengatakan bahwa ia termasuk orang yang menyukai tembang Sunda cianjuran. "Tembang Sunda cianjuran, ya! Saya suka dengan lantunan tembang tersebut yang dibawakan oleh Ceu Euis Komariah dan Kang Dadang Sulaeman, almarhum. Kaset-kasetnya sering saya pinjam tanpa permisi dari koleksi Pak Popo yang sangat lengkap, dan tak pernah dikembalikan! Hehehe...Urang Sunda mah kudu ceurik mun ngadengekeun cianjuran, kata Kang Rustandi. Nah, kalau itu mah saya setuju! Malah, kalau ingin nyegruk abis mah gencet saja sekalian ibu jari sama meja! Hahaha...," ujar Godi sambil tertawa ngakak, yang setiap bersua saya panggil dirinya sebagai Kangjeng Adipati Galuh.
Selain tembang Sunda cianjuran, Godi suka pula mengapresiasi kawih-kawih Mang Koko. "Saat di SD, kami sekeluarga selalu nongkrong di depan radio setiap Jumat sore, untuk mendengarkan acara Mang Koko. Saat itu, kawih-kawih Mang Koko memang digemari masyarakat, bahkan sampai ke kampung-kampung. Ada beberapa lagu yang rumpaka-nya dibuat oleh para penyair Sunda. Antara lain dibuat oleh Kang Dedy Windyagiri dengan Sariak Layung-nya. Sampai sekarang, saya masih hapal dan bisa menyanyikan beberapa kawih Mang Koko.
Mungkin tembang dan kawih ada pengaruhnya pada karya-karya saya. Kang Dodong Djiwapradja pernah berkata bahwa puisi-puisi dalam kumpulan puisi Jagat Alit banyak terpengaruh oleh rumpaka tembang. Sayang, saya tidak tahu persis seperti apa pengaruhnya, karena Kang Dodong urung memaparkannya dalam diskusi yang telah direncanakan saat itu," jelas Godi.
Petikan puisi di atas yang diberi judul "Jagat Alit" dipetik dari kumpulan puisi "Jagat Alit" yang ditulis oleh penyair Godi Suwarna. Di bawah ini kami sajikan petikan percakapan dengan penyair yang mengaku sudah meninggalkan dunia hitam menuju dunia putih. "Karena rambut saya sudah memutih, maka dunia hitam saya tinggalkan," katanya kembali tertawa ngakak.
Apa yang menyebabkan Kang Godi tertarik menulis puisi berbahasa Sunda, yang kemudian disusul dengan menulis cerita pendek dan novel dalam bahasa Sunda?
Tahun 1976, ketika liburan semester di lembur, saya mencoba nulis puisi Sunda, dikirimkan ke majalah Mangle, di antaranya Surat keur Susi di Bandung. Puisi-puisi cikal itu ternyata mendapat tanggapan cukup baik dari sastrawan Sunda senior. Dulu, Kang Usep Romli HM pernah menulis bahwa puisi saya terpengaruh Sutarji. Padahal, sumpah, saya mah lebih merasa "berhati Kang Wahyu Wibisana" nan manis romantis! Hahaha...
Sejak itu, saya deudeuieun nulis puisi Sunda, bukan karena bisa menggaet mojang Bandung yang bernama Susi itu. Hahaha...Bahasa Sunda ternyata lebih bisa menyalurkan perasaan saya dalam bersajak. Banyak kosa kata bahasa Sunda untuk menggambarkan rasa. Coba, cara berjalan saja dalam bahasa Sunda itu sangat bermacam-macam. Ngagandeuang, ngalenghoy, ngagedig dll. Selain itu, saya lebih bisa nabeuh bahasa Sunda ketimbang bahasa Indonesia. Bahasa Sunda itu bisa digalindengkeun dengan banyaknya kemungkinan kalau kita mau murwakanti. Pokoknya nikmat dech!
Saya tertantang untuk terus ngarang cerpen dan novel karena selalu dikritik habis oleh kang Rustandi Kartakusumah, yang katanya selalu a-absurd-an. Begitulah ia selalu mengomentari cerpen-cerpen awal saya. Padahal, dibanding karya beliau yang realis dan kebarat-baratan, justru cerpen sayalah yang paling nyunda di seantero cerpen Sunda. Hahaha...Karena selalu dikritik itu saya malah ngahajakeun ngarang cerpen yang dianggap minculak dalam sastra Sunda, dengan kredo: "Menolak Tradisi Bertolak dari Tradisi". Hag, siah, gagah, yah?
Apakah makna puisi "Jagat Alit" bagi Kang Godi?
Itu puisi kesayangan Kakang, Yi Prabu Sukapura. Itu adalah puisi saya yang paling religius. Hehehe... Puisi itu lahir ketika saya masih ABG, lagi babadeurna!. Pemuda kampung berhati koboy ngumbara di Bandung. Mangprung, dech! Saat itu, saya selalu merasa tidak akan berumur panjang! Kematian paman saya yang masih muda sangat berbekas di hati. Sering mimpi ketemu dia di alam sana. Saya terus ngabarungsinang. Gelisah! "Jagat Alit" mungkin semacam pencerahan, ya? Dijadikan judul buku kumpulan sajak saya yang pertama. Sengaja ditaruh di awal, sebagai pembukaan, semacam fatihahna lah!
Ketika kuliah Kang Godi masuk Jurusan Bahasa Indonesia, di IKIP Bandung. Nah, apakah sastra Indonesia memberikan pengaruh yang demikian besar pada proses kreatif Kang Godi dalam menulis puisi maupun cerita pendek?
Mungkin ada pengaruhnya. Tapi, saya tidak tahu sebesar dan seperti apa pengaruh sastra Indonesia pada proses kreatif saya. Yang jelas, saya memang banyak membaca karya-karya sastra Indonesia sejak masih di SD. Ayah saya kepala SMP di Panawangan, Ciamis. Perpustakaan sekolahnya cukup banyak mengoleksi karya sastra. Saya membaca "Siti Nurbaya," "Salah Asuhan" dll. Tapi, juga gemar membaca cerita silat Kho Ping Ho, semisal serial "Bu Kek Siansu," "Bhu Pun Su," sama khusuknya dengan melahap karya-karya sastra Indonesia. Terpaksa maling-maling karena ayah melarang saya membaca buku-buku seperti itu!
Setelah masuk IKIP, saya sangat terkesan dengan kumpulan cerpen "Godlob," karya Danarto. Luar biasa. Seperti ngabandungan dongeng aheng. Apalagi itu yang berjudul gambar jantung terpanah yang bedarah-darah. Tokohnya Rintrik. Kita diajak masuk ke dunia mimpi yang matak hookeun. Selalu terbayang-bayang latar dan suasananya.
Saya baca berulang-ulang "Priangan Si Jelita." Dikecemel sampai lecek! Kang Ramadhan itu hebat. Beliau menciptakan bahasa Indonesia yang sangat nyunda. Merdu namun bisa juga nyereset di hati. Saya membaca bundel majalah Horison lama dan Budaya Jaya koleksi Pak Popo Iskandar, membaca karya sastra maupun pemikirannya yang berkembang saat itu.
Jadi, pengaruh mungkin bukan saja dari Indonesia yang nyastra, tapi mungkin juga dari cerita silat, cerita ditektip, komik, petualangan dll. Sampai sekarang, kalau membaca saya tidak pernah pilih-pilih yang sastra atau bukan.
Daya dorong apakah yang membuat Kang Godi tetap bersikukuh menulis karya sastra berbahasa Sunda dan bukan karya sastra berbahasa Indonesia?
Saya yang waktu muda selalu merasa sedang sakarat, ternyata berjodoh dengan bahasa Sunda yang juga sering dinyatakan sedang sakarat awal. Nah, siapa tahu nanti saya jadi bujangga terakhir macam Ronggo Warsito itu. Haha...Bahasa Sunda itu, pasti juga bahasa-bahasa ibu lainnya, memiliki bahan yang tidak terbatas untuk diutak-atik menjadi bahasa sastra. Saya terus mencoba menggali berbagai kemungkinan dari kelebihan bahasa Sunda dibanding bahasa Indonesia. Misalnya, memaksimalkan undak usuk basa, atau bahkan mencampur aduknya sekalian. Itu mengasyikan. Akhirnya, saya lebih fasih dan sangat nikmat menulis dalam bahasa Sunda.
Nah, ketika saya membaca puisi di acara-acara pertemuan penyair internasional di Bandung dan Jakarta, ternyata sambutan peserta sangat baik. Menyenangkan bisa membuat penyair-penyair bule itu saregep menyimak sajak Sunda. Ternyata, kita tidak kalah sama sastra lainnya. Tapi ketang, mungkin mereka mah cuma kasima sama penampilan saya yang sed saeutik ti dukun teluh! Hahaha...
Siapakah sastrawan Sunda, Indonesia, dan juga sastrawan Barat maupun Timur yang memberikan pengaruh kepada Kang Godi?
Sejak kecil saya memang mengagumi Kang Wahyu Wibisana. Saat di SD saya membaca carpon beliau yang berjudul "Dehem" sampai ngaceng! Hahaha...Tapi, saya tidak tahu apakah ada pengaruh beliau dalam karya-karya saya. Coba diselidik saja, ya? Yang jelas, setelah saya kenal dekat, beliau sering ngagebrag saya supaya lebih gorejag. Mun geus ancrub kudu daek bobolokot, itu piwuruk beliau. Jadi, pengaruhnya mungkin lebih kepada sikap dalam berkesenian.
Saya tidak tahu siapa sastrawan Indonesia, Barat atau Timur yang mempengaruhi saya. Tapi, saya senang dan berulang-ulang membaca novel "Taman Kate-Kate" karya Maria Dermout, yang lebih aheng ketimbang karya-karya Gabriel Garcia Marquez. Terasa lebih dekat di hati, tidak nun jauh di Amerika Latin sana! Sewaktu muda, pernah mencoba-coba menulis lirik seperti "Tukang Kebun"-nya Rabindranath Tagore. Tapi teu kataekan! Jadinya malah ngagerebeg dalam kumpulan sajak "Blues Kere Lauk." Haha... (Soni Farid Maulana/"PR") ***