Teater Koma


pengantar

TEATER KOMA 31 TAHUN

(1977-2008)

Tanpa terasa, tahun ini, 2008, TEATER KOMA berusia 31 warsa. Tepatnya, didirikan di Jakarta, 1 Maret 1977. Saat itu, 12 pekerja teater; N. Riantiarno, Ratna Madjid, Rima Melati, Rudjito, Jajang Pamontjak, Titi Qadarsih, Syaeful Anwar, Cini Goenarwan, Jimi B. Ardi, Otong Lenon, Zaenal Bungsu dan Agung Dauhan, berkumpul di rumah Abdul Madjid, ayah saya, di Jalan Setiabudi Barat No.4, Jakarta Selatan.

Ikrar mendirikan sebuah grup teater dipatok. Dan nama grup yang disepakati; TEATER KOMA. Koma, sebuah metafora yang mengartikan �gerak berkelanjutan, senantiasa berjalan, tiada ada henti, tak mengenal titik�.

Demikian harapan yang disandang kala itu. Memiliki nafas panjang, senantiasa berkiprah, mengembara dalam ruang kreatifitas, terus mencari dan berupaya menemukan hal-hal yang bermakna.

Pentas perdananya; Rumah Kertas, karya dan sutradara N. Riantiarno. Tempat pertunjukan; Teater Tertutup Pusat Kesenian Jakarta TAMAN ISMAIL MARZUKI. Tanggalnya, 2-3 dan 4 Agustus 1977. Memang hanya tiga malam. Samasekali tak diduga, pementasan kedua Maaf.Maaf.Maaf. (1978), digelar 5 malam. Pentas ketiga, J.J (1979), 7 malam. Opera Ikan Asin (1983), saduran dari The Threepenny Opera karya Bertolt Brecht, digelar 10 malam dan pentas-pentas selanjutnya rata-rata digelar 2 minggu. Tapi Opera Para Binatang (1986), saduran dari Animal Farm karya George Orwell, digelar 23 malam. Dan Sampek Engtay (1999-2000) digelar 22 hari dengan pementasan sebanyak 26 kali.

Pentas-pentas TEATER KOMA agaknya kena di hati masyarakat. Mengikat kalbu sehingga mereka rela jadi penonton setia. Menurut hasil sebuah survei, penonton TEATER KOMA yang setia menonton hingga sekarang, berjumlah sekitar 50% dari seluruh jumlah penonton. Ternyata telah terjadi regenerasi pula di kalangan penonton. Tiga generasi (kakek, anak, cucu) sering menonton bersama. Hal yang sangat mengharukan. Dan tentu saja menggembirakan. Fenomena unik, kata para pengamat.

Dalam perjalanan, memang terjadi berbagai hal yang memprihatinkan. Antara lain interogasi terhadap N. Riantiarno, kecurigaan, pencekalan dan pelarangan, juga ancaman bom. Apa boleh buat, semua itu diikhlaskan sebagai dinamika perjalanan kreatifitas berteater. Dan alhamdullillah, sejauh ini masih bisa dilakoni dengan tenang dan damai. Bagaimanapun, masing-masing pihak telah bekerja sesuai tugasnya. Satu harapan timbul, semoga perdebatan (atau perbenturan persepsi) yang berangkat dari perbedaan sudut pandang itu bisa menjadi wacana yang bermanfaat bagi kehidupan kesenian di masa-masa mendatang. Dan bukan bersifat melulu politis yang menerbitkan kebencian, apalagi permusuhan. Perbedaan adalah anugerah.

Meski harapan itu seringkali tak terwujud, sikap �koma� tetap diyakini. Berfikir positif, harapan tak boleh pupus. Barangkali ini, salah satunya, yang membikin TEATER KOMA masih berkiprah. TEATER KOMA, kelompok teater independen yang bersifat non-profit (nir laba). Anggotanya tak hidup dari penghasilan kelompok, tak mengandalkan perolehan dari pergelaran. Sebagian besar memiliki pekerjaan lain di luar kelompok.

Bagi sebagian anggota yang memilih teater sebagai �jalan hidup�, akibat kegiatannya (yang nyaris tak menghasilkan uang) diyakini sebagai resiko dari sebuah pilihan. Bukan jaminan TEATER KOMA didatangi banyak penonton, ataupun keberhasilannya dalam meraih sponsor. Seluruh biaya produksi, jika dihitung secara benar dan rinci, selalu takkan bisa ditutup dari hasil perolehan karcis dan sponsor sekalipun. Ini kenyataan.

TEATER KOMA adalah paguyuban kesenian, bukan perusahaan. Kegiatannya tetap bersifat amatir, dalam pengertian; �anggotanya tak memperoleh hasil dari pekerjaannya sebagai penopang utama biaya hidup sehari-hari�. Mereka mensubsidi sendiri kegiatannya, sebuah �hobi serius� yang dilakoni secara dedikatif, ikhlas dan gembira. Ini penting diungkap, karena selama ini sering terjadi salah pengertian. Pada kenyataannya, setiap kali merancang produksi, modal awal kadang dirogoh dari kantong pribadi, atau �bantingan� (ditanggung bersama). Dan itulah yang terjadi, hingga sekarang.

Meski banyak yang menganggap manajemen TEATER KOMA patut diacungi jempol, kondisi keuangan kelompok, serupa dengan grup-grup teater yang ada di tanah air. Selalu pusing kepala dan lintang-pukang setiap kali merencanakan produksi baru. Keikhlasan hati para anggota dalam menyikapi kondisi tersebut, juga kesetiaan para penonton hadir dalam pentas dan membeli karcis, merupakan modal utama. Barangkali, hal ini pula yang membikin TEATER KOMA mampu bertahan. Dalam kondisi dan situasi sesulit apa pun, para anggota berikrar terus merancang kegiatan dan senantiasa berupaya tetap kreatif.

Pada kesempatan ini, mewakili Keluarga Besar TEATER KOMA, saya menyucap beribu terimakasih kepada semua pihak yang selama ini tetap setia mendukung. Dukungan Anda amat sangat berarti, membikin kami tetap bernafas. Sejak awal, kami menganggap; �TEATER KOMA bagai ikan dan masyarakat adalah airnya�. Tanpa Anda, yang diibaratkan air, ikan tak mungkin bisa hidup. Tanpa Anda, kami bukan apa-apa.

Kami tak tahu apa akan terjadi esok hari. Itu sebabnya kami tak berani lagi merancang rencana mendatang, meski kami berikrar; kegiatan seni pertunjukan harus tetap ada. Tak peduli kehidupan yang semakin sulit dan persaingan begitu keras, juga biaya produksi yang kian mahal, sedang pemerintah nampaknya tetap kurang peduli terhadap pengembangan kesenian, terutama seni pertunjukan, panggung teater harus tetap terisi dan hidup.

Memang sebuah kenyataan bahwa, Masyarakat Teater Modern Indonesia sering merasa, pemerintah nyaris tak memiliki: Atensi, Visi, Strategi, Transparansi dan Aksi (�tindakan terkonsep yang berkelanjutan�). Teater Modern Indonesia, sejauh ini bergerak dan berjalan sendiri, dengan cara-cara yang kreatif membentuk masyarakatnya sendiri. Kondisi semacam itu, sekaligus memberitahu seakan pemerintah tak merasa memiliki Teater Modern Indonesia. Sikapnya memberi kesan tak bersahabat, malah sering bercuriga.

Tapi, apa pun terjadi, �The Show Must Go On�. Ada dukungan dari pemerintah atau tak ada, ada �pembinaan� ataupun malah �pembinasaan�, Teater Modern Indonesia harus tetap berkiprah. Inilah sikap teguh dari sebuah pilihan. Ikrar melakoni lakon yang sudah digariskan oleh kreatifitas. Sebuah lakon teater yang �koma�, senantiasa berkelanjutan dan hidup!

Axact

Axact

Vestibulum bibendum felis sit amet dolor auctor molestie. In dignissim eget nibh id dapibus. Fusce et suscipit orci. Aliquam sit amet urna lorem. Duis eu imperdiet nunc, non imperdiet libero.

Post A Comment:

0 comments: