foto oleh Abimanyu
Sedih. Jangankan mau membeli tiket pementas-an. Untuk menonton pentas teater Sandekala Sunda dengan gratis saja mereka tidak mau datang. Pentas Sandekala dalam bahasa Indonesia sehari sebelumnya malah dipenuhi penonton yang rela membeli tiket. Ini hanya salah satu indikator betapa orang Sunda sudah kurang peduli pada budayanya," tutur Wawan Sofwan, sutradara teater yang mementaskan Sandekala di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, belum lama ini.
Pentas Sandekala di Jakarta bisa terlaksana berkat bantuan sejumlah aktivis, seperti Andi K Yuwono, Danang Widyoko, FX Rudi Gunawan, Agung Yudha, dan Raharjo Waluya Djati. "Dari nama- nama teman yang banyak membantu saja, terlihat mereka bukan orang Sunda. Orang Sundanya mungkin hanya Kang Teten Masduki dan para pemain kami dari Bandung," Wawan menambahkan.
Pria kelahiran Panjalu, Ciamis, Jawa Barat itu, tentu tidak sedang mengecam orang Sunda. Ia juga tahu persis teman-temannya yang membantu pementasan Sandekala tidak begitu mempersoalkan bahasa dan suku bangsa. Perhatian para aktivis yang mau bekerja keras mengusung Sandekala dari Bandung ke Jakarta lebih banyak dilandasi alasan isi dan pesan dari pentas itu. Praktik korupsi yang harus diberantas.
Sekadar informasi awal, Sandekala diangkat dari karya Godi Suwarna. Pemenang Hadiah Kebudayaan Rancage 2008 itu memang berkisah tentang praktik korupsi. Bukan korupsi yang melibatkan politisi di parlemen. Bukan korupsi yang penuh intrik politik dan melibatkan menteri di kabinet kita. Sama sekali bukan. Praktik korupsi dilakukan seorang camat di sebuah tempat di Ciamis, Jawa Barat.
"Naskah teater yang berkaitan dengan isu korupsi sedikit. Saya juga baru temukan isu itu di karya Kang Godi. Ini naskah luar biasa yang mencakup isu korupsi, pelestarian alam, percintaan, dan sejarah Sunda. Setting waktunya berwarna. Dari mulai kisah Dyah Pitaloka yang tewas pada Tragedi Bubat hingga Reformasi 1998," tuturnya.
Itulah Wawan yang lahir pada 17 Oktober 1965. Itulah sutradara berdarah Sunda dan berkeinginan mengangkat budaya Sunda lewat karya-karyanya.
Karier sebagai sutradara tidak seketika datang. Ia memulai dari rasa sukanya pada dunia akting. Pernyataannya soal rasa suka pada akting pun tidak sama dengan pernyataan para aktor sinetron, yang suka pada seni akting, tapi aktingnya saat bersedih malah membuat penonton terbahak.
Wawan, demikian ia sering disapa temannya, sejak kuliah di Jurusan Kimia Institut Keguruan dan Ilmu Pengetahuan (IKPI ) Bandung, sudah berkecimpung di dunia teater. "Saya belajar akting di Student Center IKIP Bandung dan menimba ilmu Studiklub Teater Bandung," ujar mantan Ketua Himpunan Mahasiswa Kimia IKIP itu.
Di lingkungan kampus itulah ia berinteraksi dengan Teten Masduki, Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam saat itu. "Saya tak bisa melupakan Kang Teten yang tidak pernah bosan bicara soal kebangsaan dan daya rusak korupsi," ia menambahkan.
Ketertarikannya pada dunia teater dan keprihatinanya pada praktik korupsi terus berlangsung hingga kini. Bukti sederhananya, ia sudah memantapkan diri untuk hidup di dunia teater hingga kini. Bukti tambahan, dengan semangat dan hati riang, ia membaca, mempelajari dan kemudian mementaskan Sandekala.
Guru
Dunia pendidikan bukan tidak menarik hatinya. Tapi, untuk menjadi guru kimia, jelas ia sudah kehilangan energi. Bukan apa-apa, hatinya sudah terpatri pada dunia teater. Seusai kuliah di kampus yang sekarang berganti nama jadi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, ia sempat dilanda kegalauan. Benarkah dunia teater bisa menjadi ladang hidupnya?
Seusai menarik napas panjang dan berdoa, hatinya mantap. Apa yang harus terjadi, terjadilah. Dunia akting jadi pilihan hidup. "Soal rezeki, kumaha engke (Bagaimana nanti, Red). Pasti aya rezeki ti gusti (Pasti ada rezeki dari Tuhan, Red)," katanya dalam bahasa Sunda.
Kegundahannya beralasan. Sangat mudah menemukan para pekerja seni di dunia teater yang hidupnya pas-pasan. Untunglah, sang kekasih hati, Een Rihaeni, sangat mendukung pilihan Wawan.
Keduanya satu jurusan di ruang kuliah dan ruang latihan teater. Rupanya diskusi soal rumus-rumus kimia dan dialog saat di ruang latihan dan panggung pementasan semakin merapatkan hubungan mereka.
Tidak salah jika Wawan pun kemudian memilih Een yang sekarang menjadi menjadi guru Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 13 Bandung menjadi pandamping hidupnya.Cinta kasih dan kesepakatan untuk mengikat diri dalam perkawinan melahirkan Vania dan Sheyla.
Lulus kuliah pada 1991 hasratnya untuk mengolah tubuh dan suara saat beraksi di panggung semakin membuncah. Ia terlibat dalam pentas King Liar, Impian di Tengah Musim, Julius Caesar, dan sejumlah pementasan lainnya.
Rupanya ia tidak puas dengan hanya tampil sebagai aktor dan sutradara. Ia mengembangkan kemampuannya di dunia monolog. Maka penggemar dunia akting di Indonesia, khususnya di Bandung, bisa menyaksikan penguasaan olah suara dan bahasa tubuhnya lewat pentas Dam, Laporan untuk Akademi, Zarathustra, dan The Story of Tiger. "Yang tak terlupakan ialah saat saya membawakan monolog Indonesia Menggugat di sebuah pura tua di Singaraja. Saya lakukan monolog bukan di panggung, tapi di tengah lapangan. Tahunnya lupa, tapi yang pasti acara berlangsung nyaris tengah malam. Jadi, saya membacakan pidato Bung Karno dari tanggal 31 Mei hingga I Juni. Suasananya sangat khas. Susah menggambarkannya," kata Wawan.
Uniknya lagi, sebelum pementasan, Wawan berjumpa dengan seorang tua yang ucapannya tidak terlupakan. Pria itu menerangkan bahwa ibu kandung Bung Karno punya rumah yang tidak jauh dari pura tempat acara berlangsung.
Pria itu pula banyak bicara soal Kerajaan Panjalu dan beberapa kerajaan lain di wilayah sebelah Barat Pulau Jawa. "Padahal saya tidak pernah mengatakan pada pria itu bahwa saya berasal dari Panjalu. Aneh," kenang sang sutradara yang pernah menyutradarai Faust I karya Goethe, Saudagar Venesia karya Shakespeare, Nyai Ontosoroh karya karya Pramudya Ananta Toer dan Faiza Marzuki, dan sejumlah pementasan lainnya.
Pilihan Wawan di dunia teater rupanya tidak salah. Kekhawatirannya soal kesejahteraan keluarga tidak terbukti. Titik terang dunia rezeki sedikit terbuka takkala ia mendapat beasiswa dari Goethe Institut Jerman untuk belajar bahasa Jerman dan mempelajari research theater dari tahun 1995-1996. Undangan dari berbagai pihak di luar negeri untuk belajar dan mementaskan karyanya berdatangan.
Pria penyabar itu malah sempat bergabung di kelompok Main Theater Melbourne, Australia. Dengan modal pengalamannya, pekerjaan untuk menjamin kehidupan keluarga pun berdatangan. Sekarang ia menjadi pengajar acting for singer di Gita Svara Jakarta, dan memberikan kursus privat bagi mereka yang ingin menambah keterampilan aktingnya.
Soal keuangan, relatif lebih aman baginya. Apalagi sang kekasih yang sudah menjadi pendamping hidupnya tetap giat mengajar.
Keresahan dan kesedihannya bertumpu pada satu hal. Punahnya budaya Sunda. Jumlah orang Sunda yang mau menggunakan bahasa Sunda semakin menyusut. Apalagi yang mau mempelajari sejarah dan kearifan lokal orang Sunda. "Pentas Sandekala dalam bahasa Sunda di Bandung juga kurang peminat. Tapi saya tetap optimistis bisa membangkitkan lagi budaya Sunda lewat teater berbahasa Sunda, jika menyaksikan semangat teman-teman berlatih teater Sunda meskipun dengan honor ala kadarnya," ia menegaskan. [SP/Aa Sudirman]
Sumber: http://www.suarapembaruan.com/News/2008/08/06/Personal/per01.htm