2005









SAMPEK ENGTAY 2005
N. RIANTIARNO

produksi ke-109, 2006
TEATER KOMA



halaman Prancis


Sebuah upaya regenerasi keaktoran







produksi ke-109
TEATER KOMA

GEDUNG KESENIAN JAKARTA, 14�15-16 Februari 2006, pukul 19.30 wib
________________________________________________________________________



PARA PELAKON


Sampek Paulus Simangunsong, Franky Gunadi
Engtay Tuti Hartati, Andhini Puteri

Ciok Hengky Gunawan, Yulius Buyung
Nyonya Ciok Eva, Mutiara Proehoeman
Nio Adri
Nyonya Nio Angga Yasti

Sukiu Raheli Dharmawan
Antong Michael Yogi, Yoga
Jinsim Yvonne Lesmana
Suhiang Tety Mulyani, Arach

Dalang Herlina Syarifudin
Kapten Liong Sugi Haryanto
Macun Sena Sukarya
Guru Aldin Siahaan

Romeo, Pronocitro Perdana Hassan
Yuliet Sheila Qadarsih, Yvonne Lesmana, Ina Kaka,
Michael Yogi, Yoga
Roromendut Nidia Ribeiro, Arie Yudhy
Wiraguna Michael Yogi, Yoga

Murid-1 Ina Kaka
Murid-murid ������������

Penggali Kubur Michael Yogi, Yoga

Pemandu Tandu ���� (4 orang)
Marsose Perdana Hassan, ��
Kupu-kupu Gurdi Syalendra, Nur Anani

Pengiring, Penonton Ina, Sheilla, Nidia, Ary, Echa,




PARA PEKERJA

Karya dan Sutradara N. Riantiarno
Asisten Sutradara O�han Adiputra

Penata Musik Idrus Madani
Skenografi Syaeful Anwar
Penata Gerak Ratna Ully
Desainer Busana Rima Ananda
Penata Rias dan Rambut Sena Sukarya
Penata Suara dan Akustik Totom Kodrat
Penata Cahaya Mulyono
Penata Grafis Aldin Siahaan

Para Pemusik Idrus Madani, O�han Adiputra,
Eko Partitur, Anes Sucihandono,
Glenn Randell, Yassin Burhan, �. BAS.

Kordinator Artistik Dorias Pribadi
Urusan Gerak ���
Urusan Busana ���
Urusan Rias-Rambut ���
Urusan Suara Staf GKJ
Urusan Cahaya Staf GKJ

Pencatat Latihan Paulus, Herlina, Arie
Urusan Artistik dan Umum Sugi, Yogi, Tasri, Bayu
Urusan Keuangan Angga Yasti
Urusan Konsumsi Tety, Ina, Dhini
Urusan Kesehatan Dr. Umar
Urusan Latihan dan Kebersihan Piket Kelompok
Urusan Keamanan Hengky Gunawan, Staf GKJ
Urusan Dokumentasi Logo Situmorang, Dorias Pribadi
Urusan Sponsorship Tim TEATER KOMA
Urusan Panggung Herlina Syarifudin
Urusan Publikasi TEATER KOMA dan GKJ
Urusan Tiket Suntea, Arie dan GKJ
Sekretariat ���

Mentor Angkatan 2000 & 2005 Budi Sobar, Edi Sutarto, Sari Madjid

Pimpinan Panggung Sari Madjid
Pimpinan Teknik Panggung Tinton Prianggoro
Pimpinan Produksi Ratna Riantiarno

RINGKAS LAKON
SAMPEK ENGTAY 2005



Suami-isteri CIOK tinggal di Serang. Mereka punya anak gadis semata wayang, ENGTAY namanya. Lewat berbagai akal, Engtay berhasil meyakinkan orangtua dan akhirnya diizinkan menuntut ilmu ke Betawi. Meski untuk itu dia terpaksa menyamar jadi lelaki. Dalam perjalanan, Engtay berkenalan dengan SAMPEK, yang juga punya niat sama, bersekolah. Keduanya saling mengangkat saudara.

Di asrama, Engtay ditempatkan sekamar dengan Sampek. Penyamaran Engtay sukses. Tak seorang pun menyangka dia gadis. Waktu bergerak, asmara Engtay terhadap Sampek makin berkembang. Pada suatu hari, Engtay membuka rahasia jatidiri. Ternyata Sampek juga jatuh hati. Tapi nasib malang. Cinta Sampek membentur tembok. Tepat saat dia siap mencinta, Engtay dipanggil pulang karena hendak dinikahkan dengan MACUN, putra Kapten LIONG, tuan tanah kayaraya dari Rangkasbitung. Perjodohan itu telah dirancang sejak lama oleh keluarga Ciok dan Liong. Sampek merana dan mati penasaran. Jasadnya dikubur di Pandeglang. Dia tak putus berharap, Engtay sudi menziarahi kuburnya.

Macun memboyong Engtay ke kampungnya dengan tandu pengantin. Di tengah jalan, Engtay memohon agar rombongan berhenti sejenak di makam Sampek. Dia ingin berziarah. Dasar sudah jodoh, seusai upacara sembahyang, kuburan Sampek mendadak terbuka. Lalu, Engtay pun melompat ke dalamnya dan menyatu dengan jasad sang kekasih.

Macun marah besar. Dibongkarnya kuburan. Tapi tak terdapat jasad Sampek ataupun Engtay. Hanya ada dua batubiru dan dua tawon kuning. Ketika kuburan digali lebih dalam lagi, muncul sepasang kupu-kupu yang segera melayang terbang. Sekejap kemudian, berjuta kupu-kupu memenuhi langit, menutup cahaya matahari, memayungi bumi, meneduhkan hati. Semua terkesima.














SUMMARY OF THE PLAY
SAMPEK ENGTAY 2005



Mr. & Mrs. CIOK live in Serang. The gods blessed them with an only daughter. Her name is ENGTAY. Through various means, Engtay manages to convince her parents and is finally permitted to further her education in Betawi, even though she has to disguise herself as a man. In her journey, Engtay befriended a young man by the name of SAMPEK, who also wants to go to school. Then, they both took an oath of becoming sworn brothers.

At the dormitory, Engtay is put in the same room with Sampek. Engtay�s disguise is a success. No one ever thought that she is, in fact, a girl. As time flies, Engtay�s feeling for Sampek grows. Until one day, Engtay reveals her true identity. Sampek instantly falls in love with her. But fate is indeed cruel. Sampek�s love is faced with a great obstacle. Just as love overwhelms him, Engtay is forced to return home because she is to be the wife of MACUN, the son of CAPTAIN LIONG, a wealthy land owner from Rangkasbitung. The engagement has long been a plan between the Cioks and the Liongs. Sampek is heartbroken and dies because of it. His body is then buried in Pandeglang. He has a last wish, though, that Engtay will be kind enough to visit his tomb.

Macun brings Engtay to his home village in a bridal cart. In the middle of the road, Engtay begs the entourage to stop awhile near Sampek�s grave. She wants to pray for him. In the end, the two lovers are meant to be after all. After Engtay finishes her prayer, the grave suddenly opens up. Then, Engtay jumps inside, reunited with her love at last.

Macun is furious. He tears open the grave. But neither the bodies of Sampek nor Engtay are found. There are only two blue stones and two yellow bees. When the grave is further searched, a pair of butterflies appears, flying into the sky. Moments later, millions of butterflies fill the skies, clouding the sun, engulfing the earth, soothing the soul. Everyone is silent, astonished by the sight before them.










Perjalanan Sampek Engtay
Teater Koma, 1988 - 2006.

Kisah cinta klasik dari Negeri Cina ini, disadur oleh N. Riantiarno berdasarkan penyerapan sekitar 12 versi. Penyadur memindahkan peristiwanya ke kawasan Banten dan Betawi, masanya dipatok saat penjajahan Belanda. Inti cerita tidak berubah, yakni �tragedi cinta sepasang kekasih�. Kita tahu, kisah cinta sangat populer ini sudah sangat sering ditayangkan, baik sebagai film, komik, buku roman maupun lakon pentas. Bermacam gaya dan versi (tafsir) yang muncul, justru malah semakin memperkaya inti lakon.

Pentas Sampek Engtay dalam ludruk Jawa, tentu berbeda dengan yang dibesut dalam drama-gong Bali. Demikian pula terdapat perbedaan �kembang lakon� antara Sampek Engtay gaya Dardanella dengan Opera Bangsawan (1920-an). Masing-masing memancarkan aura yang spesifik. Dan sama-sama menarik.

Dalam versi TEATER KOMA, Engtay gadis kelahiran Banten yang tinggal di Serang. Sampek berasal dari Pandeglang. Sedang Macun berkampung di Rangkasbitung. Musik digarap gado-gado. Unsur bunyian Cina, Sunda, Betawi dan masa kini, dibaurkan sehingga menghadirkan harmoni yang unik.

Dalam sejarah seni pertunjukan Indonesia, Sampek Engtay pernah di-Jawa-kan oleh sebuah grup (direkam Tio Tek Hong, Batavia, pada sekitar tahun 1925-an). Musik yang mengiringinya, gamelan Jawa. Tapi, ketika lakon dipentaskan oleh Opera Bangsawan, irama wals dan tango dimasukkan sebagai ilustrasi.

Sampek Engtay, lakon melodramatis. TEATER KOMA menyajikannya dalam bentuk musikal. Dibungkus nyanyi, musik, gerak dan humor. Lakon menjadi serangkai gurauan pahit dari sepasang kekasih yang gagal bercinta akibat larangan orangtua. Inilah lakon tentang perempuan muda yang menganggap diri mampu mengubah masa depan. Kenyataannya, dia tetap tak mampu melarikan diri dari ikatan keluarga, meski ikatan itu tidak disukainya. Inilah �emansipasi yang kalah oleh tradisi�. Dan semoga bisa menjadi cermin kita semua.

Sampek Engtay pertama kali digelar TEATER KOMA pada 1988, di Jakarta, dan nyaris dicekal. Lalu digelar di Surabaya dan dilarang naik pentas di Medan, 1989. Juga pernah diangkat menjadi sinetron 13 episode. Dipentaskan lagi di Jakarta, pada 1997, 1998, 1999 dan 2000. Digelar kembali di Medan pada tahun 2000, tanpa ada pencekalan. Dipentaskan di Victoria Theater, Singapore, dalam Bahasa Inggris, pada tahun 2001. Digelar di Bandung, 2002. Di Batam, 2003. Dan pementasan di Yogyakarta, 2004, sekaligus menyabet sertifikat MURI (Museum Rekor Indonesia), sebagai lakon yang telah dipentaskan sebanyak 80 kali selama 16 tahun, dengan 7 pemain, 4 pemusik dan sutradara yang sama.

SAMPEK ENGTAY 2005, diangkat oleh para aktor andalan Angkatan IX/2000 dan Angkatan X/2005, sebagai produksi TEATER KOMA yang ke-109, 2006.
Regenerasi Teater Koma


Kegiatan TEATER KOMA diawali dengan dukungan Angkatan Pendiri/1977, yang terdiri dari 12 seniman. Sesudah itu, angkatan demi angkatan lahir. Yang paling bungsu, Angkatan X/2005.

Tanpa gembar-gembor, tanpa publisitas yang provokatif, pada kenyataannya, TEATER KOMA telah banyak melahirkan aktor-aktris, sutradara, penulis drama, pemusik teater, desainer artistik, desainer pencahayaan, penata grafis, penata busana, penata rias dan rambut, penata teknik pentas, pimpinan panggung, dan pimpinan produksi. Keahlian mereka, kini dimanfaatkan secara optimal oleh para penggiat seni pertunjukan. Inilah anugerah yang patut disyukuri. Sumbangan berharga bagi perkembangan seni pertunjukan di Indonesia.

Angkatan Pendiri/1977, sebagian besar memiliki pengalaman pentas sebelum bergabung dan mendirikan TEATER KOMA. Sandiwara pertama yang digelar, Rumah Kertas karya N. Riantiarno, jadi ajang yang mempersatukan visi dan impian bentuk yang kelak menjadi bentuk-biang (meski tetap �terbuka� terhadap kemungkinan pengembangan). Yakni, bentuk yang coba mengadaptasi warna-lokal lalu mengawinkannya dengan teknik pentas teater-Barat. Drama musikal, menjadi bentuk yang diyakini bisa mewadahi keinginan itu. Kita tahu, seni pentas di berbagai daerah di Indonesia, memiliki tradisi gerak dan musik.

Pengetahuan seni pentas (juga sejarah teater dan sastra drama), mulai diajarkan kepada Angkatan II/1978, dan angkatan seterusnya. Berbagai tokoh, pakar di bidangnya, diundang datang untuk berbagi pengalaman dengan para calon seniman yang ikrar menjadi anggota TEATER KOMA. Selain pengetahuan teater, diprioritaskan bahan-bahan lain yang melengkapi. Antaranya; apresiasi psikologi, pengantar antropologi, sosiologi, senirupa, bahasa-sastra dan filsafat. Apresiasi Musik dan Tari, dipandu pakar, saat kelompok menggelar produksi.

Patut diakui, TEATER KOMA, bukan akademi atau lembaga pendidikan seni yang formal. Kelompok, hanya paguyuban atau semacam perkumpulan kesenian yang bahkan belum memiliki sistem penerimaan anggota baru. Maka tidak heran, jika semua pengetahuan seni teater, diserap secara acak dan tidak tersistem. Kurikulum dan silabus pun disusun hanya berdasar kebutuhan pementasan.

Sistem penerimaan calon anggota dan pembelajaran seni-teater, baru agak terkoordinasi pada Angkatan VIII/1994. Sejak 1994, tidak semua orang bisa menjadi calon anggota TEATER KOMA. Mulai ada seleksi, dipilih dari formulir pendaftaran/lamaran yang masuk. Tapi, yang terseleksi pun, masih harus menghadapi lagi beberapa wawancara khusus dan psikotes. Biasanya, dari sekitar 30 pelamar yang dipanggil, paling banyak hanya 17 calon yang diterima.

Calon anggota wajib mengikuti pelatihan dasar teater selama satu semester, enam bulan. Tidak dipungut biaya sepeser pun. Meski sering kesulitan dalam pembiayaan pembelajaran, kelompok menyadari hal itu sebagai resiko tak terelakkan dari sebuah upaya �regenerasi� yang swadaya. Meski begitu, ada biaya yang ditagih dari para calon anggota. Yakni; kedisiplinan, ketekunan dan tahan banting. Ikrar menjadi anggota TEATER KOMA, bukan tindakan main-main. Ikrar ibarat janji. Dan janji harus ditepati, apa pun resikonya.

Sesuai tradisi, calon anggota tidak dilibatkan dalam produksi yang tengah digelar kelompok. Tugas mereka hanya belajar. Jika dilibatkan pun, paling bekerja di belakang panggung. Setelah satu atau dua tahun, �angkatan baru� diuji dalam sebuah pementasan. Inilah yang kemudian dianggap sebagai jembatan menuju jenjang �kelulusan� mereka sebagai anggota TEATER KOMA.

Angkatan IV/1980, diuji dalam Opera Ikan Asin, 1983. Angkatan V/1984, diuji dalam pagelaran Opera Kecoa, 1985. Angkatan VI/1989 dan VII/1990, diuji dalam Suksesi, 1990. Angkatan VIII/1994, diuji dalam Semar Gugat, 1995. Dan Angkatan IX/2000, diuji dalam Republik Togog, 2004. Mereka dianggap �lulus� secara memuaskan. Sesudah �lulus�, mereka tidak lagi hanya bertanggungjawab kepada kelompok, tapi sekaligus juga bertanggungjawab kepada masyarakat.

Sejak 1977, setiap tahun TEATER KOMA menerima anggota baru. Angkatan II diterima pada 1978 dan Angkatan III, 1979. Idealnya, memang begitu. Tapi, sesudah 1979, penerimaan anggota baru tidak lagi dilakukan setahun sekali. Sejak Angkatan IV/1980, jarak waktu masing-masing angkatan, sekitar empat atau lima tahun. Meski begitu, penerimaan �angkatan baru� tetap dilakukan pada awal bulan Maret, sesuai saat kelahiran TEATER KOMA, 1 Maret 1977.

Jarak waktu yang panjang, dikarenakan oleh berbagai hal. Upaya regenerasi yang swadaya, menyebabkan biaya pembelajaran menjadi salah satu kendala. Juga dibutuhkan konsentrasi pembelajaran dan pelatihan yang terpadu agar angkatan baru bisa hadir lebih matang, dengan dasar yang lebih kuat. Waktu setahun, terlalu pendek untuk mempersiapkan lahirnya seniman teater.

Kini, Angkatan IX/2000 kembali diuji dalam Sampek Engtay 2005. Mereka bekerja bahu-membahu dengan adik-adiknya, Angkatan X/2005. Budi Sobar, Edi Sutarto dan Sari Madjid -- mentor angkatan paling bungsu -- menjamin �anak didiknya� mampu menjalani ujian lewat pementasan ini dan akan menyajikan tontonan yang sama menarik dengan Sampek Engtay sebelumnya.

Regenerasi, hal yang niscaya. Mustahil dihindari. Para senior TEATER KOMA, kini telah melewati usia 40 bahkan 50 tahun. Mengingat hal tersebut, kini, TEATER KOMA juga menyelenggarakan kegiatan Workshop Teater Bagi Pelajar SMU, sebulan sekali, selama dua hari. Sama sekali tidak dipungut biaya. Kegiatan Workshop Teater Bagi Pelajar SMU, telah dimulai November 2005. Dan akan dibuka kembali pada bulan April 2006.
Para peserta setiap workshop, dibatasi hanya sekitar 30 siswa. Pelajar SMU, bisa mendaftar dan menjadi wakil dari sekolah masing-masing. Tentu atas seizin guru dan orangtua. Dari setiap sekolah, hanya akan dipilih paling banyak 3 peserta saja. Sehingga, diharapkan, setiap workshop akan diikuti oleh sekitar sepuluh atau duabelas sekolah. Yang tidak terpilih, jika masih berminat, boleh mendaftar ulang untuk workshop berikutnya.

Rencana jangka panjang Workshop Teater Bagi Pelajar SMU, adalah; dalam setahun, akan digelar 10 kali workshop. Jadi, penyelenggaraannya hampir setiap bulan, kecuali Mei dan Desember. Workshop diselenggarakan pada hari Sabtu dan Minggu, sejak pukul 10.00 hingga 17.00, dengan jeda 60 menit untuk makan siang. Peserta setiap workshop yang terpilih, akan diberi peluang mengikuti �Pelatihan Lanjutan� selama empat bulan. Ujung dari �Pelatihan Lanjutan�, insya Allah, adalah sebuah pementasan panggung.

Tak ada niat samasekali untuk mencetak para peserta workshop agar menjadi seniman teater. Meski, di masa depan, hal itu bukan sesuatu yang tak mungkin. Niat utama hanyalah keinginan menyebarluaskan pengetahuan dasar teater yang benar, baik dan indah, sebagai upaya lahirnya sebuah apresiasi. Sehingga, diharapkan, mereka tidak lagi memandang teater sebagai dunia yang aneh, asing serta musykil. Jangan lupa, di masa depan, mereka adalah calon-calon pemimpin bangsa. Semangat workshop yang dipatok adalah �kegembiraan menyerap pengetahuan dasar teater� dengan �toleransi dan saling menghargai�.

Sesungguhnya, hasil dari kegiatan apa pun, hanya bukti yang sementara saja sifatnya. Tekad, ketekunan, kerjakeras dan upaya pewujudan impian anak-anak muda yang ingin mengungkap jatidiri lewat teater, adalah hal yang lebih patut dihargai. Kepada siapakah, perkembangan teater Indonesia di masa depan bergantung, jika bukan kepada anak-anak muda itu?

Regenerasi teater sudah tentu harus menyentuh berbagai bidang. Bukan hanya wilayah keaktoran saja yang perlu digarap. Teater membutuhkan penonton, dramaturg, sutradara, kritikus, pemikir, penulis, pekerja panggung, manajemen pengelolaan, penyandang dana dan wadah pementasan. Semua unsur itu seharusnya merupakan kekuatan-kekuatan yang menyatu dan sinergis. Satu hal yang juga tak kurang pentingnya, adalah, teater membutuhkan ruang gerak yang sepadan tanpa kecurigaan. Hal itu penting bagi pengembangan imajinasi kreatif dan kemungkinan lahirnya berbagai inovasi.

Waktu masih panjang. Perjalanan masih sangat jauh. Regenerasi hanya salah satu upaya. Dan, tentu, sulit berjalan baik tanpa didukung masyarakat. Ya, dari Andalah dukungan diharapkan.




TEATER KOMA
Didirikan di Jakarta, 1 Maret 1977.

Hingga tahun 2006, telah menggelar 108 pementasan, baik di televisi maupun di panggung. Sering melaksanakan kiprah kratifitas di panggung Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki, TVRI dan pentas Gedung Kesenian Jakarta.

SAMPEK ENGTAY 2005, adalah produksi pentasnya yang ke-109.

Perkumpulan kesenian yang bersifat non-profit ini, mengawali kegiatan dengan dukungan 12 seniman (sebagai Angkatan Pendiri). Kini, kelompok didukung oleh lebih dari 50 anggota aktif.

TEATER KOMA banyak menggelar karya N. Riantiarno. Antara lain; Rumah Kertas, J.J, Kontes 1980, Trilogi Opera Kecoa, Opera Primadona, Sampek Engtay, Konglomerat Burisrawa, Suksesi, RSJ atawa Rumah Sakit Jiwa, Semar Gugat, Opera Ular Putih, Sembelit, Presiden Burung-Burung, Republik Bagong, Republik Togog, dan Tanda Cinta.

Juga menggelar karya para dramawan kelas dunia, The Comedy of Error dan Romeo Juliet/William Shakespeare, The Threepenny Opera dan Good Person of Szechwan/Bertolt Brecht, Women in Parliament/Aristophanes, Woyzeck/Georg Buchner, The Crucible/Arthur Miller, The Marriage of Figaro/Beaumarchaise, Animal Farm/George Orwell, Ubu Roi/Alfred Jarre, The Robber/Freidrich Schiller, dan karya-karya Moliere yang disadur ke dalam suasana lokal.

TEATER KOMA, kelompok teater independen. Bekerja lewat pentas-pentas yang memotret situasi-kondisi sosial-politik di tanah air. Dan sebagai akibat, harus menghadapi pelarangan serta pencekalan dari pihak yang berwewenang. Berbagai upaya audience development dilakukan, antara lain lewat �program apresiasi� (salah satunya PASTOJAK, Pasar Tontonan Jakarta I, yang digelar sebulan penuh di PKJ-TIM, Agustus 1997, diikuti oleh 24 kelompok kesenian dari dalam dan luar negeri). TEATER KOMA senantiasa bersikap optimistis. Berharap teater berkembang secara sehat, mandiri, bebas dari pengaruh politik praktis dan mampu menjadi tontonan yang memandu hati nurani masyarakatnya.

TEATER KOMA yakin, teater mampu menjadi jembatan menuju suatu keseimbangan batin dan jalan bagi terciptanya kebahagiaan yang manusiawi. Jujur, bercermin lewat teater, diyakini sebagai salah satu cara untuk menemukan kembali akal-sehat dan budi-nurani.

TEATER KOMA, perkumpulan kesenian yang intensif melakukan upaya �regenerasi�. Hingga tahun 2006, kelompok telah melahirkan 10 (sepuluh) angkatan. Kegiatannya konsisten dan produktif. Juga tercatat memiliki banyak penonton setia. Pentas-pentasnya sering digelar lebih dari 14 hari.

TEATER KOMA
Established in Jakarta, 1 March 1977.

Up until 2006, it has performed 108 productions, either for television or the stage. Often performs its productions on the stages of the Taman Ismail Marzuki Jakarta Arts Center, TVRI and the Jakarta Arts Building.

SAMPEK ENGTAY 2005, is its 109th production.

This non-profit arts group began their activity with the support of 12 artists (the Founding Class). Now, this group is supported by over 50 active members.

TEATER KOMA staged many of N. Riantiarno�s works. Among others; Rumah Kertas, J.J, Kontes 1980, Trilogi Opera Kecoa, Opera Primadona, Sampek Engtay, Konglomerat Burisrawa, Suksesi, RSJ or Rumah Sakit Jiwa, Semar Gugat, Opera Ular Putih, Sembelit, Presiden Burung-Burung, Republik Bagong, Republik Togog, and Tanda Cinta.

It also staged the works of world class playwrights, The Comedy of Error and Romeo Juliet/William Shakespeare, The Threepenny Opera and Good Person of Szechwan/Bertolt Brecht, Women in Parliament/Aristophanes, Woyzeck/Georg Buchner, The Crucible/Arthur Miller, The Marriage of Figaro/Beaumarchaise, Animal Farm/George Orwell, Ubu Roi/Alfred Jarre, The Robber/Freidrich Schiller, and the works of Moliere which were adapted into local settings.

TEATER KOMA, an independent theatre group. It works through plays that portray the social-political situations and conditions in the country. And, as a consequence, has had to face bans and prohibitions from the authorities. Many efforts of audience development has been done, among others through �appreciation programs� (one of which is PASTOJAK, Pasar Tontonan Jakarta I/ Jakarta Performance Market I, that was held for a whole month at the TIM-JAC, August 1997, joined by 24 arts group, local and international). TEATER KOMA is always optimistic. It hopes that theatre will develop healthily, independently, free from political influences and able to become a performance that can guide the hearts of its people.

TEATER KOMA is certain that theatre is capable of becoming a bridge towards spiritual harmony and a path to creating a humane happiness. In truth, reflecting ourselves through theatre is believed to be one way of rediscovering common sense and conscience.

TEATER KOMA, an arts group intensively striving for �regeneration�. Up until 2006, this group has given birth to 10 (ten) generations. Its activities are consistent and productive. It is also known of having a loyal audience. Its performances were often held for more than 14 days.


Salam hangat
Keluarga Besar
TEATER KOMA